Kamis, 16 April 2015

MUSLIM KETURUNAN atau MUALAF, MANA YANG LEBIH BAIK?



“ MUSLIM KETURUNAN atau MUALAF, MANA YANG LEBIH BAIK? “

Beberapa waktu yang lalu, media pernah begitu gencar menggembor-gemborkan tentang perpindahan agama. Berbagai hal mulai ditelisik seputar alasan mengapa seseorang berpindah keyakinan dan bagaimana proses perpindahan keyakinan yang mereka jalani. Dalam islam sendiri perpindahan agama atau keyakinan bukanlah hal baru. Banyak orang yang tadinya non muslim lantas memilih untuk menjadi muslim dan biasa dikenal dengan sebutan mualaf. Pada dzaman Rasulullah, banyak sekali sahabat yang berbondong-bondong masuk islam dan memutuskan mengucapkan dua kalimat syahadat. Bukan saja dari golongan Assabiqunal awwalun, namun banyak juga yang dari golongan kaum yahudi dan nasrani yang akhirnya memilih jalan islam. Sebagian besar umat muslim di dunia ini bahkan telah banyak di dominasi oleh para mualaf.

Lalu bagaimana dengan Indonesia ? Negara yang memiliki umat muslim terbanyak di dunia ini dahulu bukanlah negara dimana islam di lahirkan. Jadi menyebarnya islam di tanah air adalah perjuangan umat muslim terdahulu yang tercatat dalam sejarah dibawa pertama kali oleh kaum pedagang dari India dan Khujurat. Mereka melakukan transaksi jual beli sembari menyalurkan da’wah islam di Nusantara. Dengan apa islam dapat menyebar hingga seluas sekarang ini ? Apakah penganut islam memilih menjadi muslim karena paksaan ? Tentu saja tidak. Islam adalah agama yang membawa misi da’wah secara damai tanpa kekerasan. Maka penyebarannya diterima dengan tangan terbuka oleh para warga pesisir pantai yang menyambut hangat kedatangan pedagang musllim tersebut. Bahkan islam sangat disegani karena tak pernah membeda-bedakan kasta/derajat manusia secara duniawi.  Oleh sebab itu islam membumi dan dapat diterima dengan baik dan hingga kini menjadi agama mayoritas di Indonesia.

Tak hanya disebarkan melalui agenda dagang saja. Dalam perkembangannya, islam disebarluaskan melalui banyak hal seperti pendidikan, seni, perkawinan dan akulturasi budaya. Banyak warga pribumi yang akhirnya menikah dengan kaum musllim pada saat itu hingga terlahirlah begitu banyak generasi penerus islam hingga sampai pada masanya islam telah mendominasi tak hanya di Indonesia, tapi pada banyak negara di dunia. Maka sejak saat itu sebutan mualaf tak lagi asing di telinga. Lalu, di dzaman modern seperti sekarang apakah penyebarluasan masih berlangsung ? Jawabannya Ya. Islam akan terus berkembang dan melahirkan bibit-bibit baru meneruskan perjuangan da’wah. Jadi tentu akan terlahir banyak mualaf seperti yang terlihat pada saat ini. Pertanyaannya “ Apakah seorang mualaf memiliki hak yang sama dengan muslim keturunan atau seseorang yang terlahir sebagai muslim ? Apa eksistensi mereka untuk memajukan islam ? Lebih baik mana secara kualitas antara muslim keturunan dibanding seorang mualaf ? “

Menanggapi berbagai macam isu dan berita yang memojokkan islam saat ini, saya akan memberi ulasan terkait pertanyaan di atas. Sebelumnya, Apakah kita pernah mendengar bahwa menjadi seorang muslim adalah sebuah hidayah ? Saya rasa sering. Pada dasarnya seseorang terlahir kedunia ini tidak membawa bakat tentang suatu keyakinan apapun. Jadi pada intinya, entah kelak dewasa nanti mereka akan menjadi muslim, nasrani, yahudi, atau umat beragama apapun itu akan lebih di pengaruhi oleh pendidikan orangtua tentang keyakinan mereka yang biasanya ditularkan pada anaknya. Namun ingin saya perjelas bahwa menjadi seorang muslim bukanlah takdir. Ingat BUKAN TAKDIR ! Mengapa saya katakana demikian ? Karena, sejatinya setelah dewasa seseorang cenderung memikirkan banyak hal tentang keyakinan yang dianutnya. Pada kenyataannya tiap-tiap manusia diberikan kesempatan untuk memilih jalan hidupnya, begitu pun terkait persoalan agama. Jadi menjadi umat beragama apapun itu pilihan. Saya tekankan, PILIHAN !.

Tak aneh bukan mendengar banyak orang dengan banyak profesi ? Begitu pula dengan banyak umat beragama. Karena pada dasarnya kita diberi kesempatan untuk memilih. Allah telah menganugerahi kita dengan otak dan akal yang sempurna, maka perkara menjadi apa dan siapa kita itu adalah perkara pilihan. Jika ada banyak orang untuk memilih menjadi mualaf, maka ada banyak alasan pula yang akan mendasaari mereka untuk mengambil keputusan tersebut. Mulai dari karena pernikahan (mendominasi), ilham, mimpi, kesadaran, dan lain sebagainya. Terkait dengan alasan-alasan tersebut, tidak salah jika kita memilih jalan islam dengan alasan kita masing-masing.

Lantas, Apakah kita pernah mendengar seseorang bertanya mengapa setelah pernikahan lantas terjadi perceraian seorang mualaf cenderung murtad kembali ? Sedangkan di lain sisi ada yang berkata bahwa seorang mualaf cenderung lebih kuat imannya dari pada mereka yang menjadi muslim karena keturunan ? Fenomena ini tengah menjadi pergunjingan di masyarakat kita. Saya ambil contoh. Siapa yang tidak tahu Ustadz Felix Siauw yang notabennya seorang mualaf keturunan tionghoa ? Hebat bukan seorang mualaf namun bisa menjadi tokoh besar islam yang berkontribusi banyak terhadap islam ? Kira-kira apa yang akhirnya melatarbelakingi beliau untuk memilih jalan islam ? Apa karena perkawinan ? Tentu saja tidak. Beliau menjadi seorang mualaf ketika berumur 18 tahun dan belum menikah. Intinya, beliau mengaku menjadi muslim karena beliau berikir. Memikirkan tentang islam dan mengilhami Al-Qur’an, barulah kemudian Allah berkenan menganugerahinya hidayah islam untuk menjadi seorang mualaf. Namu melihat konsistensinya kini, mungkin kita yang muslim keturunan akan iri jika membandingkan keberhassilan da’wah beliu dengan kita yang masih pas-pasan yaa ? Contoh lain adalah pada banyak kasus perkawinan yang akhirnya membawa seorang mualaf memilih menjadi seorang mualaf namun murtad kembali setelah terjadinya perceraian. Kasus ini sangat banyak daan dapat saya simpulkan bahwa keislamannya belum membawanya pada kuatnya iman, sehingga masih mudah tergoyahkan.

Menjadi mualaf karena perkawinan memang tidaklah salah. Telah banyak dihasikan keturunan muslim dari buah perkawinan muslim dan mualaf. Namun, apabila seseorang memutuskan menjadi musim karena sebab perkawinan dan selanjutnya akalnya tidak digunakan untuk memikirkan jalan islam tentu saja ini yang akan berakibat fatal . Bisa dikatakan keislamannya hanya karena pernikahan tanpa adanya sebuah kesadaran. Jadi baiknya seorang mualaf adalah mereka yang mau memikirkan tentang Al-Qur’an dan menggunakan akalnya untuk mengilhami islam karena sekali lagi menjadi muslim bukan takdir melainkan PILIHAN. Lalu apa perbandingannya antara mualaf dan muslim keturunan ? Benarkah bahwa mereka yang mualaf cenderung lebih kuat imannya dibanding kita yang muslim keturunan ?

Saya rasa telinga orang Indonesia tak asing dengan ungkapan “ Mualaf cenderung lebih kuat imannya dari pada muslim keturunan “. Faktanya memang banyak mualaf yang kemudian lebih teguh memegang imannya daripada kita yang muslim keturunan. Mengapa ? Karena, biasanya seseorang yang terlahir menjadi muslim atau muslim keturunan cenderung biasa-biasa saja dengan aksi agamis yang dia lakukan. Dalam arti. Karena sedari kecil muslim keturunan sudah banyak tahu perihal agama maka tak sedikit dari pada muslim keturunan yang tidak fanatic dalam urusaan agama dan menganggap enteng amalan-amalan ringan. Al-hasil, karena seringnya menganggap enteng urusan agama, maka dia lebih mudah melepas keislamannya ketika banyak factor X mempengaruhi ketauhidannya. Tak jarang bukan kita jumpai muslim keturunan yang pada akhirnya murtad ? Sesungguhnya hal ini tak jauh beda dengan kasus mualaf  karena perkawinan. Persamaannya, karena pada saat menjadi muslim mereka cenderung berhenti atau bermalas-malasan menggunakan akalnya untuk mengilhami Al-Qur’an, sehingga keislamannya pun akan mudah tergoyahkan. Lalu bagaimana dengan seorang mualaf, Bukankah mereka juga punya potensi yang sama untuk kemudian kembali ke keyakinan asal mereka ?

Jika memperhatikan Ustadz Felix  contoh dari salah satu mualaf yang berhasil memegang ketauhidannya  tadi, selintas barangkali kita akan membenarkan pernyataan “ Mualaf cenderung lebih kuat imannya daripada muslim keturunan “. Tapi tahan sejenak. Pada dasarnya tak sepenuhnya pernyataan diatas benar. Bukankah semua itu tergantung manusianya ? Hanya saja, terdapat perbedaan mendasar antara muslim keturunan dan mualaf. Dalam banyak kasus dijumpai bahwa biasanya, mualaf memutuskan menjadi muslim karena mereka telah benar-benar yakin dengan keputusannya menjadi muslim. Dengan kata lain, mereka telah memikirkan tentang islam terlebih dahulu sebelum akhirnya hidayah datang dan membawanya pada jalan islam. Selebihnya seorang mualaf yang sungguh-sungguh dengan keimanannya akan menggunakan akalnya untuk mengilhami Al-Qur’an agar keimanan mereka semakin kuat. Nah disinilah perbedaan antara mualaf dan muslim keturunan terlihat jelas. Karena banyak sekali muslim keturunan yang lantas berhenti menggunakan akalnya untuk mengilhami Al-Qur’an meski mereka mendapatkan pendidikan islam jauh lebih dulu dari para mualaf. Begitu pula dengan mualaf karena pernikahan. Karena sebaik-baik alasan masuknya seseorang menjadi muslim adalah karena mereka telah memikirkan islam dan betul-betul yakin terhadap agama baru yang dianutnya tersebut. Kenapa ? Karena hidayah tidak datang begitu saja, melainkan datang saat akal dan rasio mau digunakan untuk membaca alam dan kuasa-NYA.

Pada intinya memang semua tergantung pribadi masing-masing. Entah itu mualaf maupun muslim keturunan tak ada beda derajatnya dimata Allah, yang membedakan hanya ketaqwaannya saja. Jadi muslim keturunan dan mualaf memiliki kesempatan yang sama dalam hal eksistensinya dalam kemajuan islam. Kembali pada pembahasaan sebelumnya, karena pada hakikatnya menjadi muslim adalah pilihan maka sebuah pilihan pula untuk meningkatkan kualitas kita sebagai seorang muslim atau stagnan dengan pengetahuan dan eksistensi di dunia islam. Semua itu PILIHAN. Contoh keberhasilan Ustadz Felix dalam berdakwah hanyalah sebagian contoh kecil dari pada keberhasilan banyak mualaf di bumi ini, kita yang muslim keturunan semoga semakin termotivasi dengan kisah tersebut. Ingat, mau maju atau tidak, bukan perkara takdir tetapi semua itu adalah pilihan.

By : Desi Lestari
@Kamis, 16 April 2015. 11.05 PM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar