Kamis, 27 November 2014

Di Balik Bayangmu

Seusai jam kuliah di Kampus aku bergegas mencari taxi untuk mengantar Abah menjalani pemeriksaaan rutin di RS Persahabatan Jakarta Utara. Nampaknya kali ini aku agak terlambat karena ada jam tambahan yang diadakan oleh dosen psikolog pendidikanku. Aku mulai mempercepat langkah berjalan sekeliling kampus mencari taxi. Dari belakang nampak mobil avanza putih melaju kencang,lama-lama semakin mendekat dan hampir saja menabrak ku! Mobil itu seketika mengerem mendadak,, hampir saja menabrak pohon yang tepat berada di depan kampusku. Andai aku tadi tak menghindar, mungkin juga aku yang akan jadi sasaran mobil yang melaju tanpa kontrol itu. Dari balik mobil tampak seorang lelaki yang mencoba keluar dengan luka yang nampak di kepalanya. Mungkin benturan itu terlalu keras hingga membuat langkah lelaki itu tak jelas dan tak berselang lama ia terjatuh! Aku terperanjat! Saat ku hampiri lelaki tadi, ternyata darah berlumuran di kepalanya hingga membuatnya tak sadar. Aku mencari pertolongan hingga datanglah beberapa orang yang membantuku membawanya ke rumah sakit.
Setelah bercakap-cakap dengan dokter, Aku kembali ke ruang dimana Idris dirawat. Kartu tanda pengenalnyalah yang membuatku tahu identitasnya. Perlahan aku mulai membuka pintu. Dia telah sadar, dan nampak kebingungan memandangi ruangan ini.”Aku dimana? Mengapa bisa ada disini?”  Tanya pemuda itu padaku. Aku mencoba menjelaskan padanya perihal peristiwa yang baru saja terjadi.”Oh ya. Namamu Idris bukan? Maaf, tadi dompetmu terjatuh dan Aku menemukan kartu identitasmu.Ambilah..” Sembari menyodorkan ID CARD tersebut. Aku hampir saja lupa bahwa aku harus mengantar Abah Check Up minggu ini,karena Beliau harus cuci darah tiap minggunya. Akhirnya Aku berpamitan pada Idris. “Administrasinya telah Aku selesaikan. Tapi maaf Aku buru-buru jadi Aku akan segera pulang. Semoga kau cepat sembuh.” Aku pun beranjak meninggalkan Rumah Sakit serta bergegas pulang.
Aku mengetuk pintu.Ternyata Umi yang menyambutku.”Dari mana saja Rahma? Apa kau lupa ada jadwal pemeriksaan Abah? Hmm..Kau ini.” Aku tertunduk lemas. Aku menyesali kecerobohanku dan perlahan menceritakan kejadian tadi siang pada Umi dan Aisyah yang tampak kecewa padaku. Beruntung Umi dan Aisyah  memahami keadaanku. Sehingga Aisyahlah yang mengantar Abah. Umi tak sempat mengantar Abah karena harus mengajar ngaji para santri di Pesantren yang didirikan Abah.Hari-harinya kini terasa berat semenjak peran Abah tak seperti dulu yang selalu berperan aktif mengasuh pondok tersebut. Dari pondok yang diasuh oleh Abah telah terlahir ratusan santri yang menjadi hafidz/hafidzoh. Meski Aku bukan putri kandung mereka, tapi setidaknya Aku adalah salah satu dari ratusan santri tersebut.Ya..Aku beruntung karena dipertemukan dengan Umi dan Abah yang sedari kecil merawatku semenjak kepergian kedua orangtuaku pada Sang Khalik. Betapa berartinya kasih sayang sesosok Ibu dan Ayah untuk seorang anak lah yang membuat mereka mengangkatku menjadi anak yang tak pernah mereka bedakan dengan Aisyah, putri kandung mereka. Ketulusan mereka pula yang membuatku pun menganggap Beliau layaknya orangtua kandungku.
Ku baringkan tubuhku di atas ranjang untuk sekedar beristirahat serta menenangkan pikiran. Kejadian tadi siang sungguh tak mudah ku lupakan. Hmm..Betapa tidak? Sesosok pemuda yang ku fikir Ia aneh dan tak jelas asal-usulnya. Bahkan dari penjelasan dokter mengenai penyakitnya, Aku bisa menangkap sedikit keanehan padanya. Sepertinya dia adalah mantan pengguna narkoba. Dia mengidap penyakit hemofilia, Keadaan dimana  apabila seseorang terluka darahnya sulit membeku. Luka bekas kejadian tadi itupun pasti sulit untuk benar-benar kering  sehingga membuat darah terus mengalir di daerah sekitar kepalanya. Aku sungguh tak tega melihatnya karena Ia tak seperti seorang pecandu melainkan pemuda yang begitu sopan. Tapi..Entahlah apa yang membuatnya sampai terjerumus ke barang haram itu.
Mata sayup-sayup mulai terpejam. Tiba-tiba Aku teringat akan sapu tangan pemberian Ustadz Ramdhan waktu itu.”Astaghfirullah..Sapu tanganku sepertinya tertinggal  di Rumah Sakit.Bagaimana ini?” Bagiku itu amat berarti. Sapu tangan itulah yang selalu mengingatkan ku selalu pada sosok Ustadz Ramdhan yang begitu tulus mencintaiku, meski hingga kini Aku tak juga menerima permintaannya untuk melamarku. Kini Ia telah jauh mengejar cita-citanya di Kairo untuk meneruskan pendidikannya di “Fakultas Usuludin Universitas Al-Azhar”. Hatiku tak pernah berkata lebih dari anggapan sebagai seorang kakak padanya. Perhatian yang selama ini Ia berikan tak pernah mampu ruang khusus di hatiku sebagai seseorang  yang lebih dari sekedar kakak atau bahkan Ustadz bagiku. Karena Ia terbilang lebih tua dariku. Umur kami tak berselang jauh, hanya selisih 4 tahun. Sehingga Aku lebih menganggapnya sebagai seorang kakak. Pikiranku berbalik cepat pada sapu tangan itu, Aku berharap suatu saat nanti Aku menemukannya kembali karena Aku tak ingin menyesal sebab tak mampu menjaga pemberian dari orang yang begitu menyayangiku dengan tulus.
Aktivitasku di Kampus mulai berjalan seperti biasa. Dengan berbagai kegiatan ke Organisasian yang ku ikuti,mempertemukanku kembali dengan Idris. Aku tak menyangka bahwa Ia juga mahasiswa dikampusku.Lewat Organisasi “Ikatan Mahasiswa Dakwah Islam NU” membuatku mengenal Idris. Ia adalah mahasiswa Tarbiyah semester 6 dan merupakan seorang aktivis di kampusku. Tak disangka kini Aku mengenal sosok Idris begitu dekat.. Latar belakang serta masa lalu yang begitu suram tak pernah nampak sedikitpun di raut wajah dan kedewasaan yang nampak jelas dalam rona kehalusan budinya.Banyak hal yang terkadang mempertemukanku dengan Idris. Namun,Aku tak pernah bertanya banyak hal padanya selain yang berkaitan dengan kegiatan kampus yang kami ikuti. Aku pun mengenal pribadinya lewat seorang teman dekatnya.
“Assalamu’alaikum..” Salam tersebut berulang  kali ku ucapkan, tapi tak ada jawaban. Hingga akhirnya Aku memberanikan diri untuk masuk rumah karena ternyata pintu tak terkunci. Keadaan nampak aneh ketika kudapati rumah kosong tak berpenghuni. Aku bertanya pada salah seorang santri. Berdasarkan informasi yang ku dapat, Umi baru saja pergi bersama Abah dengan terburu-buru dan diantar oleh beberapa santri. Aku pun mulai cemas! Banyak hal yang Aku takutkan terjadi pada Abah. Aku tahu Abah sosok yang kuat, tapi kali ini firasatku berkata lain. Aku segera menghubungi Umi, tapi tak ada jawaban. Beberapa kali pula ku coba mengirim pesan tapi tak ada balasan, Hingga Aku temukan ponsel Umi tertinggal di Meja Makan. Aku begitu khawatir serta tak sabar ingin tahu apa yang terjadi pada Abah. Otak pun mulai berpikir keras mencari jalan keluar. Beberapa saat Aku terdiam.”Akh.Ya! Mungkin saja Aisyah tahu dimana Umi dan Abah sekarang.”  Aku bergegas mengambil ponselku dan menghubungi Aisyah. Setelah beberapa lama menunggu, terdengar iasak tangis di ujung telephone.”Ada apa Aisyah? Apa sesuatu terjadi pada Abah?” Tanyaku tak sabar menunggu penjelasan Aisyah. Ia tak sanggup berkata banyak hal, dan hanya memberi tahuku bahwa Abah sedang dirawat di Rumah Sakit dan Aku harus segera kesana. Tak berpikir lama,Aku melangkahkan kaki menuju Rumah Sakit.
Tiba di Rumah Sakit, ku dapati Umi, Aisyah,dan beberapa santri tengah menangis di ruang tunggu UGD. Aku menghampiri Umi dan bertanya apa yang terjadi.Tak ada satupun yang memberanikan diri menjelaskan keadaan Abah padaku. Mereka menangis dan Nampak begitu berduka. Hingga akhirnya datanglah seorang dokter padaku. Menurut diagnosa dokter kemungkinan Abah untuk bertahan hanya beberapa persen saja, semua harus kami kembalikan pada NYA dengan terus berdo’a dan memberi dukungan agar Abah mampu melawan penyakitnya. Abah hanya berbaring dengan serangkaian alat yang di pasang di tubuhnya di kondisinya yang koma karena darah dalam tubuhnya yang sudah begitu kotor karena gagal ginjal yang menimpanya sejak 5 tahun silam. Aku duduk disamping Abah. Ku genggam erat tangannya dan ku pandangi sosok orang yang begitu berjasa di hidupku. Tak terasa air mata pun meleleh berlinang membasahi pipi ini. Aku terus berdo’a untuk kesembuhan abah dan agar Abah diberi kekuatan untuk bertahan.
Abah masih terbaring di Rumah Sakit setelah 40 hari lamanya kami menanti kesembuhan Abah. Abah tak kunjung sadar, Beliau masih terbaring lemah dan koma sehingga tak mampu menyaksikan betapa kepedihan Umi yang tak pernah jauh dari RS Persahabatan itu. Tak hanya sekedar menemani Abah, tapi juga senantiasa berkirim do’a dan mengupayakan segala hal untuk kesembuhan Abah. Mengingat Umi tak mampu lagi mengasuh pondok untuk beberapa waktu lamanya, aku pun tak segan-segan menggantikan peran Umi untuk sedikit berbagi  ilmu dengan para santri di pesantren. Meskipun sudah ada beberapa ustadz/ustadzah yang mengajar para santri tapi aku tak mau berpangku tangan saja melihatbetapa repotnya mereka tanpa campur tangan Umi dan Abah.
Tak kusangka libur semester kali ini, Ustadz Ramdhan pulang. Ia kembali memberikan konstribusinya di pesantren ini. Tak hanya mengajar, acap kali Ia berbagi keterampilan tulis menulis yang sudah sejak lama ia tekuni.Sambutan para santri begitu meriah. Mereka menyambut hangat kedatangan Ustadz Ramdhan tak terkecuali kaum hawa/santri putri. Sering kali ku dengar mereka tengah membicarakan Ustadz Ramdhan. Ketika beberapa kali berpapasan, terkadang beliau melontarkan senyum hangatnya padaku. Beliau tak hanya intelek muda yang pantas dibanggakan tapi juga seorang pemuda tampan nan tangguh yang memang pantas di idolakan seorang wanita. Tak heran, Umi dan Abah pun sangat menyukai Ustadz Ramdhan. Beberapa waktu lalu, Umi sempat menyinggung sedikit tentang  pertunangan kami. Umi dan Abah memang telah sepakat menjodohkan kami meski aku tak bisa memungkiri  bahwa aku tak sedikit pun menganggapnya lebih dari seorang kakak.
Aktivitasku di pesantren acap kali berbenturan dengan kegiatan kampus. Dengan harus berputar otak aku pun mencari jalan keluar agar kegiatan kampusku tak terbengkalai mengingat sebentar lagi aku akan menghadapi penyusunan skripsi. Seiring berjalannya waktu, aku dan Idris semakin dekat. Sekarang aku tak segan untuk bertanya mengenai hal pribadinya. Mengingat kami sudah benar-benar menjadi teman, Ia sering membantuku mengerjakan masalah atau mencarikan materi untuk tugas kuliahku. Masa lalunya yang silam, tak membuatku enggan untuk dekat dengannya, karena aku tahu sesungguhnya ia pemuda yang sopan, baik, serta perhatian. Meski aku tak pernah berusaha memanfaaatkannya, tapi ia sering kali menawarkan bantuan padaku. Terkadang ketika aku melihat Umi lelah menemani Abah, aku memaksanya untuk pulang. Aku menggantikan Umi menemani Abah.Idris tak tinggal diam, Ia ikut berjaga di ruang tunggu karena menghawatirkan sesuatu terjadi padaku karena aku sering menginap di Rumah Sakit.
Kebaikan Idris padaku membuat Umi dan Aisyah mengenal dekat sosok Idris. Mereka sering kali mengajak Idris ke rumah. Lama-lama..Ku perhatikan sikap Aisyah yang aneh, hingga suatu hari kutemukan buku diary Aisyah yang berisi curhatan perasaannya pada Idris. Aku begitu kaget ketika membacanya. Entah mengapa aku begitu cembuiru dan terluka mengetahui aisyah menyukai Idris. Meski demikian Aku mencoba untuk tidak menampakn kecemburuanku pada Aisyah. Aku lebih senang melihat Adikku bahagia dengan pilihannya. Meski aku tahu sesungguhnya Idris menyimpan perasaan lebih padaku.Aku mencoba bersikap biasa meski aku pun berharap lebih padanya.
Suatu ketika aku mendapat kabar bahwa Idris mengalami kecelakaan.Ramdhan tak sengaja menabrak Idris. Ia membawanya ke Rumah  Sakit tempat dimana Abah dirawat.Aku tak menyangka mereka adalah sahabat kecil.Aku yang tengah menjenguk Abah pun bergegas menuju Ruang UGD untuk melihat kondisi Idris. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi mengingat penyakit yang di deritanya. Tiba disana, Ramdhan menceritakan apa yang telah terjadi. Kini kondisi Idris kritis. Aku hanya mampu melihatnya di balik kaca karena dokter tak mengizinkan kami masuk. Aku tak sanggup menahan air mataku meski Ramdhan berusaha menenangkanku. Meski aku sadar, Ia begitu cemburu menyaksikan butir air mata yang ku teteskan untuk Idris, tapi ia begitu tegar. Dialah sosok pemuda yang begitu dewasa, membuatku sadar betapa ia terlalu baik untuk ku.
Tiba-tiba ponselku berdering.Aisyah memintaku agar segera ke Ruang Melati 05 tempat Abah dirawat. Aku dan Ramdhan bergegas melihat kondisi Abah. Ternyata Abah telah sadar meski tampak sulit untuk sekedar menyampaikan sepatah kata padaku..Beliau berpesan agar aku menjaga Umi dan Aisyah. Beliau juga begitu ingin menyaksikan pernikahanku dengan Ustadz Ramdhan segera. Umi memintaku agar bersedia memenuhi permintaan Abah, karena mungkin akan jadi permintaan beliau yang terakhir kalinya. Demi rasa ta’dzim pada Umi dan Abah, aku bersedia memenuhinya. Dengan mahar seperangkat alat sholat serta 1 buah mushaf Al-Qur’an, ijab qobul pun berlangsung. Selesai lafadz ijab qobul itu dibacakan, Abah menghela nafas panjang untuk yang terakhit kalinya. Hatiku teriris menyaksikannya menyaksikan kepergian orang yang begitu berjasa di hidupku.
Sementara itu, Umi membawaku keluar untuk menenangkan diri menunggu pengurusan jenazah Abah. Aku melihat dokter yang tadi merawat Idris berlalu lalang dengan nada percakapan yang begitu panik pada seorang suster. Pikiranku mulai kacau. Aku bergegas ke Ruang UGD. Ramdhan dan Aisyah mengikutiku. Tak berselang lama dokter keluar dan mengizinkan salah  satu diantara kami masuk. Penanganan  khusus yang dilakukan dokter membuat kami tak bebas menemani Idris. Akhirnya aku memutuskan agar Aisyah yang menemani Idris mempertimbangkan betapa sedihnya Aisyah membuatku mengalah. Aku menunggu Aisyah keluar, Ramdhan terdiam melihatku tak bersuara sedikit pun. Ia ikut menangis melihat aku menangis penuh kesedihan.”Rahma..aku tahu bagaimana sesungguhnya perasaanmu pada Idris. Apa kau ikhlas menjalani semua ini?” Tanyanya berharap aku berkata jujur. Aku hanya mengangguk kecil. Betapa pun pahitnya ini aku akan coba ikhlas kan.Aku selalu berkeyakinan bahwa apa yang terbaik menurut-NYA pastilah terbaik juga untukku.
Beberapa saat kemudian Aisyah keluar.Ia memberi tahuku bahwa Idris terus memanggil namaku. Akhirnya aku pun memasuki ruang tersebut. Idris memandangku. Ia memberiku sebuah sapu tangan. Itu adalah sapu tangan yang sempat jatuh saat pertyama kali aku mengenal Idris. ”Kemarilah.. Bawa Ramdhan dan Aisyah masuk. “Pintanya padaku.Ramdhan dan Aisyah pun ikut masuk.”Rahma..maaf aku baru sempat mengembalikan ini padamu. Jaga baik-baik! Aku tahu Ramdhan begitu mencintaimu. Dan untukmu aisyah, terimakasih untuk ketulusanmu. Maafkan aku yang tak memiliki perasaan yang sama dengan mu.” Idris mendekatkan tanganku dan Ramdhan, Butir air mata membasahi pipinya.”Jagalah Cinta kalian..Aku turut bahagia menyaksikan kebahagiaan sahabatku, Berjanjilah padaku Ramdhan.” Ramdhan memeluknya erat.Namun itulah pelukan terakhir yang mampu kusaksikan diantara 2 orang yang berharga di hidupku. Isak air mata mewarnai kepedihan yang tergambar jelas menyisakan kepedihan bagi kami.
Ketika semua beranjak pergi dari pemakaman, aku tetap berdiam menangis disamping batu nisan Abah dan Idris.Ramdhan mengusap air matakudengan sapu tangan yang ku genggan erat di tanganku. Tak sengaja sehelai kertas jatuh dari dalamnya. Ramdhan mengambilnya dan membacakan isi kertas tersebut padaku.”Rahma..aku mungkin tak sesempurna yang kau mau. Tapi kasih ini tulus, hanya teruntuk dirimu..Bukan karena cintaku yang tak sebening bola matamu, Tapi karena aku hanya mampu berada di balik bayangmu hingga membuatku tak mampu utarakannya padamu. Menyaksikan sesosok insan yang begitu pantas untukmu membuatku pun mersa dalam cinta-NYA. Karena senyum mu adalah darah di kehidupanku. Dibalik bayangmu,Ku bersandar meraih cintaNYA...”Dari dalam hatiku terasa hujan tangis menderu.Betapa cinta adalah rahasia-NYA,Sebesar apapun cinta kita pada makhluk, hanya DIA lah yang mampu berkehendak memilih yang terbaik bagi tiap-tiap makhluk ciptaan-NYA.
~THE END~

Rabu, 26 November 2014

Pahit Mencintaimu

Berawal dari kekagumanku terhadap sikap manis nan lembutmu. Cerita demi cerita, hari demi hari telah kau ukir jejakmu di dalam duniaku. Ku pikir hariku lebih indah setelah kau goreskan warna-warna baru di hidupku,membuatku tak bosan memandang dan tak jenuh berkisah agar seluruh dunia tahu ‘Akulah orang paling beruntung itu’. Tapi ternyata salah mengenalmu. Warna-warna yang kau toreh itu merubah nuansa indah yang talah tercipta, kau ubah setiap detail kehidupan yang bertahun-tahun ku bangun demi sebuah impian yang aku tegakkan dengan tonggak dan kakiku sendiri. Kau membuat aku seakan mengubah haluan, menaifkan diri atas apa yang telah terjadi, tak peduli akan apa yang aku yakini, dan setiap detail-nya telah kau jadikan seperti duniamu sendiri “Taman Mimpimu”. Kau hanya berkelana ketika ku yakini kau adalah pelabuhan hatiku, Kau hanya menganggap aku sebagai boneka yang melengkapi istana mimpimu. Aku.. ? Dimana kau jadikan aku istimewa setelah ku anggap kamu lah segalanya ?
Manismu, lembutmu, cinta kasihmu, semua semu. Kau tak lebih dulu yakinkan hatimu sebelum benar-benar memilihku sebagai pelabuhan cintamu. Lantas,apa selama ini aku adalah persinggahanmu ? Ya. Pertanyaan yang ku pikir begitu terlambat ku lontarkan padamu. Saat kehidupanku telah hancur kau sama ratakan, saat kau enggan menengok duniaku dalam jendela keabadianmu, saat itu pula aku benar-benar yakin aku telah salah mengenalmu. Semua yang aku korbankan demi hidupku telah sirna. Semua yang ku perjuangkan demi kamu terasa hampa. Harus ku sebut apa kamu dengan semua jejak hitammu ? Harus apa lagi yang membuatmu yakin kamu adalah cerita terpahitku ?
Tuhan.. Andai saat itu aku mengingat-MU dan bertahan mencintai-MU lebih dari segalanya,mungkin aku takkan pernah kehilangan setengah sayapku untuk terbang kembali di pelukan- MU. Aku… Aku bukan kasih-MU yang setia. Apa aku masih bisa menyebut diriku seorang kekasih setelah sekian lama aku melupakan hidupku bersama-MU ? Apa masih ???  Padahal hanya Engkau sejatinya hidup dan matiku. Tapi bagaimana aku mendekat saat cinta semu telah begitu menjauhkanku dari pangkuan-MU ? Tuhan…… jangan hakimi aku atas kelalaianku, aku takkan pernah siap kehilangan lagi cinta sejati dari Engkau Rabbku.
Jangan. Jangan kau ingatkan lagi aku tentangmu. Tentang kehancuran hidupku. Manakala keangkuhan mu telah menyadarkan ku betapa tiada bergunanya hidup mengharap cinta semu-mu. Masih getir terasa di inderaku karena cercaan-mu, masih kelam ku rasa langkah yang harus ku rajut ulang demi kesejatian cintaku. Dan semua yang ku alami, ku dera, dan ku rasa, adalah karena aku terlalu dalam menaruh kepercayaan dan hatiku padamu. Setelah kamu adalah derita yang rupa dan jejaknya tak pernah lagi ingin ku abadikan di hidupku, maka jauh darimu bukan lagi pilihan. Ia adalah kepastian dan tantangan yang akan menguji kembali cinta kasihku pada Rabb-ku. Untuk kembali dalam kesejukan cinta kasih Sang Pencipta yang lebih luas serta murah kasih sayang-NYA berbanding semua makhluk penghuni alam ini.
Tuhan…. Kini terima kembali aku di tempatku yang begitu indah bersanding dengan-MU. Jangan lagi KAU menjauh, dan aku mendekat, lebih dekat, di titik terdekat antara cinta Khalik dan Sang Makhluk. “ aku dan Engkau.. Rabbku.”

Selasa, 25 November 2014

Senja Terakhir Di Ujung Penantian

Di minggu ini,semua santri sibuk mempersiapkan diri dengan berbagai macam persiapan ke Kampung Halaman masing-masing. Aku pun ikut bergegas mempersiapkan segala persiapan serta barang-barang yang hendak ku bawa pulang ke Bandung. Setelah selesai berpamitan dengan teman sesama santri,aku pun mulai menuju ke Stasiun terdekat di Wonosobo ini.
Kereta mulai melaju kencang membawaku ke alunan nada yang sayup-sayup. Keramaian yang terjadi di Kereta ini membuatku merasa penat dan mulai lelah.Akhirnya mata pun mulai terpejam,namun tanpa kusadari lelaki yang sedari tadi disampingku mulai tertunduk diam dengan sebuah bacaan yang nampaknya masih terus ia baca. Aku tak lama memperhatikannya,mata ini begitu lelah dan akhirnya benar-benar terpejam.
“Mba…maaf,tadi tasbihnya jatuh.” Sambil memberikan tasbih  ungu itu padaku. Aku pun tersenyum malu menyaksikannya,sambil terus menyesali kecerobohanku.Andai tasbih ini sampai hilang,aku tak tahu apa yang akan ku lakukan.Betapa cerobohnya aku hingga tak sanggup menjaga pemberian terakhir  Alm ayahku. “Ya,terimakasih..” Hanya itu yang sanggup ku ucapkan saat itu. Kereta ini masih terus berjalan,aku teringat akan sebuah pesan yang belum sempat ku kirim untuk ibuku. Aku pun segera membuka ponselku,tak sadar aku teringat sesuatu.”Ya Allah,Bagaimana ini kartu santriku tertinggal ?!” Lelaki yang sedari tadi di sampingku pun akhirnya mebuka pembicaraan. Dari kejadian itu akhirnya kita saling berkenalan, dari informasi yang ku dapat  akhirnya aku tahu bahwa dia juga seorang santri. Kami mulai saling mengeenal,meski dengan nada percakapan yang agak malu-malu kami lontarkan. “Oh jadi namamu Naura, dan sekarang sedang menjalani proses menjadi seorang hafidzoh ? Hmm..sangat langka menemukan wanita sepertimu sekarang.”  Aku  pun hanya tersenyum dan tertunduk tak banyak bicara.Tapi yang jelas,aku tahu nampaknya ia seorang pemuda yang sholeh.
Tak sadar,kami telah sampai di Bandung. Kami bergegas turun dari kereta  dengan barang bawaan yan tak lupa kami jinjing dengan susah payah.”Selanjutnya  kamu mau kemana  ?” Tanya Arifin pemuda yang tadi duduk di sampingku. “Kencana Putih,Alamatku di sana.” Aku tak banyak berkata. Sebelum kami menuju k e alamat kami masing-masing,aku lihat dia tengah menunggu seseorang sambil berjalan-jalan Nampak tengah kebingungan. “Apa kau juga belum di jemput?” tanyanya padaku. “Hmm..ya. Nampaknya  Ibuku agak terlambat.Siapa yang kamu tunggu ?” “Emm..Ah! Itu dia.” Nampak perempuan cantik yang menghampirinya. Perempuan itu Nampak lebih muda darinya, dengan busana muslimah dan jilbab menutup wajahnya membuatnya terlihat begitu cantik dan sopan.
Tubuhku terasa begitu lelah setelah menempuh perjalanan panjang ini. Libur semester ini akan ku manfaatkan untuk menyelesaikan skripsiku serta menemani ibu tercinta yang nampaknya begitu merasakan kekosongan sepeninggal ayah. Teringat akan pesan terakhir dari ayah untuk selalu menjaga ibu,dan…akhh, jodoh!” Aku tersenyum kecil mengingat hal itu. Rasa sedih dan kehilangan yang kurasakan rasanya tak saberapa dari yang dirasakan ibu.Sesosok perempuan yang kasihnya tak mampu kubalas dengan apapun. Pandanganku melayang pada segelang tasbih berwarna ungu yang sempat jauh di kereta ekonomi waktu itu.Yang membuatku tak prnah jauh dari bayangan sosok ayah,tak lupa dengan pesannya yang hingga kini masih ku fikirkan. Bayanganku akan sosok lelaki yang akan mendampingiku  masih jauh tak ku temukan.”Oh Tuhan..Semoga aku tak mengecewakan ibu dan ayah yang sangat menyayangi anak semata wayangnya ini.” Pikiran kecil dalam benakku.
Ibu mulai mengawali pembicaraan di Meja Makan. Rasa rindu akan kehangatan keluarga yang dulu kerasakan menghampiri jiwa ini. Setelah bercakap-cakap dan bertukar fikiran mengenai kuliahku kedepan,tiba-tiba ibu meneteskan air mata. Bening air mata itu menggambarkan rasa khawatir dan entah ribuan perasaan apa yang hadir di pikirannya. “Naura apa kamu masih ingat pesan ayah?” Aku hanya mengangguk lemas.”Kamu tahu ibu sudah tidak muda lagi.Umurmu juga telah cukup untuk mencari pendamping yang tepat untuk mu.”  “Iya bu…Naura tahu .Tapi entah lah sosok yang ku rasa tepat untukku dan sanggup mencintai ibu saperti rasa cinta anak pada ibunya belum aku temukan.Bu..Naura hanya igin seorang lelaki sholeh yang juga mampu mencintai ibu seperti Naura sayang sama ibu.” Suasan mulai hening,beberapa saat tak terdengar suara diantara kami. Lagi-lagi ibu menjatuhkan air matanya,tak banyak hal yang mampu ia katakan. Beliau hanya meminta agar aku cepat mencari pendamping untukku, dan selesai wisuda sntri nanti aku akan mencoba untuk mewujudkannya.
Hari-hari yang ku lalui disini teras begitu cepat. Tak teras besok aku harus sudah kembali ke Pondok Pesantren Nurul Qur’an. Padahal,aku masih sibuk mengurusi skripsiku yang harus ku selesaikan dim semester 8 ini. Aku cukup meras kesulitan ketika harus menemukan judul skripsi yang tepat di fakultas yang ku jalani,yaitu “Fak. Pendidikan Bahasa dan Sastra Arab” UNIVERSITAS SAINS AL- QUR’AN WONOSOBO.  Kesibukan yang selama ini hadir ditengah aktivitasku yang padt membuatku terkadang lupa akan pesan Ayah. “Akh..mungkin memang belum waktunya!” Pikirku cepat-cepat menutup perasaan ini.Sebelum aku kembali ke PONPES,aku harus cepat-cepat menyiapkan  segala materi untuk skripsiku.Dan targetku untuk menyelesaikan hafalanku harus selesai di semester ini. Ibu selalu mengingatkanku agar menjadi hafidzoh yang bertanggung jawab, mampu menjaga dan mengamalkan nilai-nilai Al-Qur’an! Akan selalu ku ingat dan coba ku terapkan.
Hari ini hari pertamaku di USQ WONOSOBO,kampusku tercinta setelah libur panjang yang usai kulalui.Kesibuan mulai benar-benar menghampiriku.Mulai dari tugas kampus,kegiatan pesantren,atu Organisasa HIMA FBSA yang ku lalui yang membuatku jarang member kabar kerumah akhir-akhir ini. Ketika tengah asyiknya jari-jemariku  memainkan laptop,duduklah seorang perempuan cantik di sampingku. Aku tertegun melihatnya, aku rasa bukan hanya karena kecantikannya namun juga kesopanan  dan kehalusan budi yang nampaknya tak asing bagiku.Wanita itu mulai menyapaku.Ia bertanya banyak hal padaku,sekaligus muli memperkenalkan dirinya.Namun,otak ini terus bertanya-tanya siapa wanita di depanku ini.Sepertinya aku pernah melihatnya. “Akh ! Ya. Aku ingat, dia adalah wanita yang aku lihat menjemput Arifin,lelaki kenalan ku di kereta ekonomi waktu itu. “Tapi..Bagaimana bisa dia ada di sini? Di hadapan ku?”
Setelah banyak hal ia ceritakan ,akhirnya aku tahu bahwa dia adalah adik kandung Arifin. Dia pun menceritakan latar belakang keluarganya, aku pun mulai banyak bertanya.Dia bercerita bahwa Ayahnya sedang  sakit keras .Kepulangan kakak nya pun dikarenakan sakitnya sang Ayah. Dan yang  tak kusangka lagi,dia juga mahasiswi USQ semester 4 “PRODI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM”.
Lewat pertemuan ku dangan Salsabila Anggraini atau yang akrab dipanggil “Aini”,aku mulai tahu banyak hal tentang Arifin. Aku sering kali diajak ke kost-an  Aini untuk sekedar main atau membantunya mengerjakan tugas-tugas makul yang sekiranya aku bisa.Kami menjadi begitu akrab,bahkan lewat kedekatanku dengan Aini,, Aku pun menjadi dekat dengan Arifin.  Arifin sering kali membantu pembuatan skripsiku.Aku tahu,dia lebih pintar dariku. Ia terbilang mahasiswa berprestasi di kampusnya ,dan baru selesai di wisuda.. Dan tengah bekerja di UQI(UNIVERSITAS QUR’AN INDONESIA) JAKARTA sebagai Ass Dosen. Aku tak pernah menyangka bisa mengenalnya lebih dekat. Persahabatan yang terjalin diantara kami memang terbilang cukup dekat meski hanya sekedar berkomunikasi lewat E-mail,SMS,atau hanya dengan pertemuan singkat yang tak sengaja terjadi ketika aku main ke kot-an Aini. Aku tak tahu entah apa yang ku rasakan ketika aku berada di dekatnya, hatiku merasa suatu hal yang aneh saat itu. Aku pun merasakan kekaguman pada sosok “Fahri Nur Arifin” yang terlihat begitu sopan dan menghargai wanita.Terlihat dari caranya menghargaiku dan kesabarannya merawat Aini yang juga sering sakit seperti Ayahnya.Sungguh sosok lelaki sholeh nan tangguh yang kini dihadapanku!
Suatu ketika aku tengah menunggu Aini di Taman tempat biasa kami bertemu. Hari ini dia memintaku untuk membantunya memilihkan kado yang tepat untuk Ayahnya,,Karena tepat tanggal 01-01-13 ini Ayahnya berusia 60 tahun.Namun aku bingung ia tak kunjung datang ! Aku pun mulai cemas,Padahal 1 jam lebih aku menunggunya tapi tak kunjung ku lihat Aini di sekitar tempat ini.Beberapa saat kemudian ponselku bordering,ternyata sms dari Aini.
“Maaf ka Naura,hari ini aku tak bisa memenuhi janji untuk pergi membeli kado bersamamu. Kemarin sore Ayah sakit,dan aku langsung pulang tak sempat member kabar. Maaf ka..Aini minta do’a untuk kesembuhan Ayah,Ka..”. Membaca pesan ini membuatku membuatku merasakan kesedihan serta menghawatirkan kondisi Ayah Aini.Aku takut hal yang dulu terjadi pada Ayahku terulang lagi pada Ayah Aini. Hanya berselang beberapa jam,Arifin menelfonku..Dia memberitahukan keadaan Ayahnya yang begitu kritis,Ia memintaku untuk menemani Aini di Bandung karena dia harus bolak-balik Jakarta-Bandung untuk mengurusi surat libur sementara dan pengalihan tugasnya di Jakarta. Aku mengerti akan kesibukannya,dan Aku setuju untuk menemani Aini disana.
Tiba di Bandung ,aku bergegas ke RS CITRA BUANA tempat Ayah Arifin di rawat.Beberapa kali nampaknya Aini dan Arifin mencoba menghubungiku,tapi tak sempat ku jawab panggilannya. Aku pun penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Pikiranku mulai kacau,begitu khawatir sesuatu terjadi pada Ayah Aini. Aku pun mempercepat langkahku menuju ruang UGD di RS CITRA ini. Setelaah menemukan ruangan tempat Ayah Aini dirawat, perlahan-lahan aku mulai membuka pintu. Terdengar bacaaan ayat-ayat  suci Al-Qur’an tengah mengalun begitu indahnya di ruangan ini, Namun kudapati Aini tengah menangis begitu dia merasakan kesedihan,,hingga matanya yang indah terlihat begitu sembab. Dia bercerita bahwa Ayahnya baru saja kambuh dan paru-parunya terasa begitu sakit,,hingga akhirnya dokter menanganinya.Sekarang beliau tengah beristirahat dan belum juga sadar. Aku pun ikut merasakan kesedihan Aini, hingga tak sadar air mata berlinang di pipiku.
Aku duduk di samping Arifin ikut melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Namun beberapa saat kemudian tangan Ayah Aini mulai bergerak dan ternyata beliau tengah sadar. Beliau terlihat begitu lemah dan tak mampu banyak bicara.Beliau hanya berpesan agar Arifin cepat menikah dengan perempuan yang ia cintai yang ternyata adalah aku. Seketika aku terperanjat, aku tak menyangka bahwa selama ini dia pun menyimpan rasa yang sama seperti yang kurasakan.Arifin telah banyak menceritakan tentang aku kepada ayahnya..Dan kado terindah yang diharapkan ayahnya sdi ulang tahunnya kali ini,adalah melihat Arifin menikah denganku.Namun sayang,semuanya tak dapat terwujud. Beliau menyatukan tangan kami di atas tubuhnya yang lemah sembari berpesan agar kami cepat mewujudkan keinginannya tersebut. Nafas terakhir itulah yang membuat beliau tak sanggup menyaksikan pernikahan kami.
Sesuai rencana pernikahan kami akan dilangsungkan selesai aku mengikuti khotmil Qur’an dan wisudsa santri siang ini. Aku bergegas memprsiapakan segala keperluanku untuk mengikuti acara yang ku tunggu. Kini aku telah menjasdi hafidzoh,menunaikan impianku sedari kecil…Aku pun menuju kerumah bibi di Bandung, semua keluarga menunggu disana untuk menyaksikan pernikahanku,tak terkecuali Aini. Dia ikut membantuku merias diri.”Kau terlihat begitu cantik dan anggun ka..Lihatlah,gaun ini amat cocok untukmu.” Aku tersenyum mendengar ucapan Aini yang memujiku.Aku pun ingin membuktikan pujian itu dengan berulang kali melihat gaun yang ku kenakan di kaca. Ya! Nampak indah memang..membuatku tak sabar menanti Arifin.
Acara hampir dimulai,tapi Arifin tak kunjung datang, Aku pun mulai resah. Hingga akhirnya aku mencoba menghubunginya. Arifin memberitahu bahwa sekarang ini dia masih di kereta,mugkin dia benar benar terlambat karena sebelumnya ia harus menyelesaikan surat surat penting di Jakarta.Aku mencoba memahaminya. Namun,untuk sedikit menenangkan diri, aku memutuskan untuk berdzikir menggunakan tasbih pemberian Alm Ayah.Aku tertegun manakala tasbih itu sempat jatuh ketika aku tengah berdzikir menenangkan diri. Aku begitu yakin aku memegangnya begitu erat. Fikiranku mulai tak tenang ketika beberapa kali aku mncoba menghubungi Arifin namun taka da jawaban. Hingga akhirnya aku mendapat sebuah telepon dari polisi yang memberi tahu bahwa Arifin mengalami kecelakaan dan dirawat di RSUD WONOSOBO.
Sesampainya di Rumah Sakit, aku menyaksikan Arifin terbaring lemah dan terdapat luka disekujur tubuhnya. Dokter bilang, mungkin dia akan tak sadar untuk beberapa waktu yang cukup lama. Air mata ini meleleh tak sanggup menyaksikannya. Tatkala lantunan ayat suci Al Qur’an memecah keheningan,Aku mencoba untuk terus membuat Arifin tersadar dengan kata kata yang berulang kali aku bisikan padanya.”Bertahanlah,Demi Cinta kita…Bertahanlah!”. Tangan Arifin mulai bergerak dan ia tersadar,terlihat simpul senyum di bibirnya yang begitu manis dan kedipan mata yang mengisyaratkan agar ijab qobul tetap berjalan demi memenuhi janji pada Ayahnya.Akhirnya ijab qobul dilangsungkan ditengah kondisinya yang mengharukan,dengan mahar seperangkat alat sholat dan Mushaf AL Qur’an berwarna ungu peninggalan Ayahnya yang turut menjadi saksi pernikahan kami. Tak berselang lama Arifin memandangku dengan senyuman bersambut air mata yang turut mengiringi kepergiannya…
Sesusai pemakaman,Aku tak bisa berbohong meski telah kucoba menyimpan kepedihan ini.Aku memutuskan untuk membaca mahar perkawinanku hingga sayup sayup kulihat butiran ayat ayat yang membawaku tak sadarkan diri.Kini aku tengah berada di Sebuah taman yang nampak begitu indah dengan bunga bunga yang bertebaran dan keharuman yang semerbak.Aku mencoba mengenali tempat ini,hingga saat..Aku melihat Arifin! Aku mengejarnya! Dia memelukku erat,aku tak mau melepaskannya. Namun perlahan ia mulai menjauh sembari berkata “Aku menunggumu di surgaNYA,tempat cinta kita yang abadi.Setulus cintaku yang setia menunggumu.Ya habibi…”. Aku berusaha mengejarnya,Tapi dia menghilang! Hingga akhirnya belaian lembut tangan ibuku membangunkanku dan membuatku sadar, Itu hanya mimpi! Dalam hati kecilku aku hanya sanggup berucap takbir yang tak luput dengan air mata..Senja di sore ini turut menjadi saksi kisah cinta yang tak berdaya menyaksikan takdir yang memisahkan cinta suci mahluk yang lemah ini.
~THE END~
By : Desi Lestari (Dessy ZahratulQolbi)