Seusai
jam kuliah di Kampus aku bergegas mencari taxi untuk mengantar Abah menjalani
pemeriksaaan rutin di RS Persahabatan Jakarta Utara. Nampaknya kali ini aku
agak terlambat karena ada jam tambahan yang diadakan oleh dosen psikolog pendidikanku. Aku
mulai mempercepat langkah berjalan sekeliling kampus mencari taxi. Dari
belakang nampak mobil avanza putih melaju kencang,lama-lama semakin mendekat
dan hampir saja menabrak ku! Mobil itu seketika mengerem mendadak,, hampir saja
menabrak pohon yang tepat berada di depan kampusku. Andai aku tadi tak
menghindar, mungkin juga aku yang akan jadi sasaran mobil yang melaju tanpa
kontrol itu. Dari balik mobil tampak seorang lelaki yang mencoba keluar dengan
luka yang nampak di kepalanya. Mungkin benturan itu terlalu keras hingga
membuat langkah lelaki itu tak jelas dan tak berselang lama ia terjatuh! Aku
terperanjat! Saat ku hampiri lelaki tadi, ternyata darah berlumuran di kepalanya
hingga membuatnya tak sadar. Aku mencari pertolongan hingga datanglah beberapa
orang yang membantuku membawanya ke rumah sakit.
Setelah bercakap-cakap dengan
dokter, Aku kembali ke ruang dimana Idris dirawat. Kartu tanda pengenalnyalah
yang membuatku tahu identitasnya. Perlahan aku mulai membuka pintu. Dia telah
sadar, dan nampak kebingungan memandangi ruangan ini.”Aku dimana? Mengapa bisa
ada disini?” Tanya pemuda itu padaku. Aku mencoba menjelaskan padanya perihal
peristiwa yang baru saja terjadi.”Oh ya. Namamu Idris bukan? Maaf, tadi dompetmu
terjatuh dan Aku menemukan kartu identitasmu.Ambilah..” Sembari menyodorkan ID
CARD tersebut. Aku hampir saja lupa bahwa aku harus mengantar Abah Check Up
minggu ini,karena Beliau harus cuci darah tiap minggunya. Akhirnya Aku
berpamitan pada Idris. “Administrasinya telah Aku selesaikan. Tapi maaf Aku
buru-buru jadi Aku akan segera pulang. Semoga kau cepat sembuh.” Aku pun
beranjak meninggalkan Rumah Sakit serta bergegas pulang.
Aku mengetuk pintu.Ternyata Umi yang
menyambutku.”Dari mana saja Rahma? Apa kau lupa ada jadwal pemeriksaan Abah? Hmm..Kau
ini.” Aku tertunduk lemas. Aku menyesali kecerobohanku dan perlahan menceritakan
kejadian tadi siang pada Umi dan Aisyah yang tampak kecewa padaku. Beruntung
Umi dan Aisyah memahami
keadaanku. Sehingga Aisyahlah yang mengantar Abah. Umi tak sempat mengantar Abah
karena harus mengajar ngaji para santri di Pesantren yang didirikan
Abah.Hari-harinya kini terasa berat semenjak peran Abah tak seperti dulu yang
selalu berperan aktif mengasuh pondok tersebut. Dari pondok yang diasuh oleh
Abah telah terlahir ratusan santri yang menjadi hafidz/hafidzoh. Meski Aku bukan
putri kandung mereka, tapi setidaknya Aku adalah salah satu dari ratusan santri
tersebut.Ya..Aku beruntung karena dipertemukan dengan Umi dan Abah yang sedari
kecil merawatku semenjak kepergian kedua orangtuaku pada Sang Khalik. Betapa
berartinya kasih sayang sesosok Ibu dan Ayah untuk seorang anak lah yang
membuat mereka mengangkatku menjadi anak yang tak pernah mereka bedakan dengan
Aisyah, putri kandung mereka. Ketulusan mereka pula yang membuatku pun menganggap
Beliau layaknya orangtua kandungku.
Ku baringkan tubuhku di atas ranjang
untuk sekedar beristirahat serta menenangkan pikiran. Kejadian tadi siang sungguh
tak mudah ku lupakan. Hmm..Betapa tidak? Sesosok pemuda yang ku fikir Ia aneh
dan tak jelas asal-usulnya. Bahkan dari penjelasan dokter mengenai
penyakitnya, Aku bisa menangkap sedikit keanehan padanya. Sepertinya dia adalah
mantan pengguna narkoba. Dia mengidap penyakit hemofilia, Keadaan dimana apabila seseorang terluka darahnya sulit
membeku. Luka bekas kejadian tadi itupun pasti sulit untuk benar-benar
kering sehingga membuat darah terus
mengalir di daerah sekitar kepalanya. Aku sungguh tak tega melihatnya karena Ia
tak seperti
seorang pecandu melainkan pemuda yang begitu sopan. Tapi..Entahlah apa yang
membuatnya sampai terjerumus ke barang haram itu.
Mata sayup-sayup mulai
terpejam. Tiba-tiba Aku teringat akan sapu tangan pemberian Ustadz Ramdhan waktu
itu.”Astaghfirullah..Sapu tanganku sepertinya tertinggal di Rumah Sakit.Bagaimana ini?” Bagiku itu
amat berarti. Sapu tangan itulah yang selalu mengingatkan ku selalu pada sosok
Ustadz Ramdhan yang begitu tulus mencintaiku, meski hingga kini Aku tak juga
menerima permintaannya untuk melamarku. Kini Ia telah jauh mengejar cita-citanya
di Kairo untuk meneruskan pendidikannya di “Fakultas Usuludin Universitas
Al-Azhar”. Hatiku tak pernah berkata lebih dari anggapan sebagai seorang kakak
padanya. Perhatian yang selama ini Ia berikan tak pernah mampu ruang khusus di
hatiku sebagai seseorang yang lebih dari
sekedar kakak atau bahkan Ustadz bagiku. Karena Ia terbilang lebih tua
dariku. Umur kami tak berselang jauh, hanya selisih 4 tahun. Sehingga Aku lebih
menganggapnya sebagai seorang kakak. Pikiranku berbalik cepat pada sapu tangan
itu, Aku berharap suatu saat nanti Aku menemukannya kembali karena Aku tak ingin
menyesal sebab tak mampu menjaga pemberian dari orang yang begitu menyayangiku
dengan tulus.
Aktivitasku di Kampus mulai berjalan
seperti biasa. Dengan berbagai kegiatan ke Organisasian yang ku ikuti,mempertemukanku
kembali dengan Idris. Aku tak menyangka bahwa Ia juga mahasiswa
dikampusku.Lewat Organisasi “Ikatan Mahasiswa Dakwah Islam NU” membuatku
mengenal Idris. Ia adalah mahasiswa Tarbiyah semester 6 dan merupakan seorang
aktivis di kampusku. Tak disangka kini Aku mengenal sosok Idris begitu dekat..
Latar belakang serta masa lalu yang begitu suram tak pernah nampak sedikitpun
di raut wajah dan kedewasaan yang nampak jelas dalam rona kehalusan
budinya.Banyak hal yang terkadang mempertemukanku dengan Idris. Namun,Aku tak
pernah bertanya banyak hal padanya selain yang berkaitan dengan kegiatan kampus
yang kami ikuti. Aku pun mengenal pribadinya lewat seorang teman dekatnya.
“Assalamu’alaikum..” Salam tersebut
berulang kali ku ucapkan, tapi tak ada
jawaban. Hingga akhirnya Aku memberanikan diri untuk masuk rumah karena
ternyata pintu tak terkunci. Keadaan nampak aneh ketika kudapati rumah kosong
tak berpenghuni. Aku bertanya pada salah seorang santri. Berdasarkan informasi
yang ku dapat, Umi baru saja pergi bersama Abah dengan terburu-buru dan diantar
oleh beberapa santri. Aku pun mulai cemas! Banyak hal yang Aku takutkan terjadi
pada Abah. Aku tahu Abah sosok yang kuat, tapi kali ini firasatku berkata lain.
Aku segera menghubungi Umi, tapi tak ada jawaban. Beberapa kali pula ku coba
mengirim pesan tapi tak ada balasan, Hingga Aku temukan ponsel Umi tertinggal di
Meja Makan. Aku begitu khawatir serta tak sabar ingin tahu apa yang terjadi
pada Abah. Otak pun mulai berpikir keras mencari jalan keluar. Beberapa saat Aku
terdiam.”Akh.Ya! Mungkin saja Aisyah tahu dimana Umi dan Abah sekarang.” Aku bergegas mengambil ponselku dan
menghubungi Aisyah. Setelah beberapa lama menunggu, terdengar iasak tangis di
ujung telephone.”Ada apa Aisyah? Apa sesuatu terjadi pada Abah?” Tanyaku tak
sabar menunggu penjelasan Aisyah. Ia tak sanggup berkata banyak hal, dan hanya
memberi tahuku bahwa Abah sedang dirawat di Rumah Sakit dan Aku harus segera
kesana. Tak berpikir lama,Aku melangkahkan kaki menuju Rumah Sakit.
Tiba di Rumah Sakit, ku dapati
Umi, Aisyah,dan beberapa santri tengah menangis di ruang tunggu UGD. Aku
menghampiri Umi dan bertanya apa yang terjadi.Tak ada satupun yang memberanikan
diri menjelaskan keadaan Abah padaku. Mereka menangis dan Nampak begitu
berduka. Hingga akhirnya datanglah seorang dokter padaku. Menurut diagnosa dokter
kemungkinan Abah untuk bertahan hanya beberapa persen saja, semua harus kami
kembalikan pada NYA dengan terus berdo’a dan memberi dukungan agar Abah mampu
melawan penyakitnya. Abah hanya berbaring dengan serangkaian alat yang di pasang
di tubuhnya di kondisinya yang koma karena darah dalam tubuhnya yang sudah
begitu kotor karena gagal ginjal yang menimpanya sejak 5 tahun silam. Aku duduk
disamping Abah. Ku genggam erat tangannya dan ku pandangi sosok orang yang begitu
berjasa di hidupku. Tak terasa air mata pun meleleh berlinang membasahi pipi
ini. Aku terus berdo’a untuk kesembuhan abah dan agar Abah diberi kekuatan untuk
bertahan.
Abah masih terbaring di Rumah Sakit setelah 40 hari
lamanya kami menanti kesembuhan Abah. Abah tak kunjung sadar, Beliau masih
terbaring lemah dan koma sehingga tak mampu menyaksikan betapa kepedihan Umi
yang tak pernah jauh dari RS Persahabatan itu. Tak hanya sekedar menemani
Abah, tapi juga senantiasa berkirim do’a dan mengupayakan segala hal untuk
kesembuhan Abah. Mengingat Umi tak mampu lagi mengasuh pondok untuk beberapa
waktu lamanya, aku pun tak segan-segan menggantikan peran Umi untuk sedikit
berbagi ilmu dengan para santri di
pesantren. Meskipun sudah ada beberapa ustadz/ustadzah yang mengajar para santri
tapi aku tak mau berpangku tangan saja melihatbetapa repotnya mereka tanpa
campur tangan Umi dan Abah.
Tak kusangka libur semester kali
ini, Ustadz Ramdhan pulang. Ia kembali memberikan konstribusinya di pesantren
ini. Tak hanya mengajar, acap kali Ia berbagi keterampilan tulis menulis yang
sudah sejak lama ia tekuni.Sambutan para santri begitu meriah. Mereka menyambut
hangat kedatangan Ustadz Ramdhan tak terkecuali kaum hawa/santri putri. Sering
kali ku dengar mereka tengah membicarakan Ustadz Ramdhan. Ketika beberapa kali
berpapasan, terkadang beliau melontarkan senyum hangatnya padaku. Beliau tak
hanya intelek muda yang pantas dibanggakan tapi juga seorang pemuda tampan nan
tangguh yang memang pantas di idolakan seorang wanita. Tak heran, Umi dan Abah
pun sangat menyukai Ustadz Ramdhan. Beberapa waktu lalu, Umi sempat menyinggung
sedikit tentang pertunangan kami. Umi dan
Abah memang telah sepakat menjodohkan kami meski aku tak bisa memungkiri bahwa aku tak sedikit pun menganggapnya lebih dari
seorang kakak.
Aktivitasku di pesantren acap kali
berbenturan dengan kegiatan kampus. Dengan harus berputar otak aku pun mencari
jalan keluar agar kegiatan kampusku tak terbengkalai mengingat sebentar lagi
aku akan menghadapi penyusunan skripsi. Seiring berjalannya waktu, aku dan Idris semakin
dekat. Sekarang aku tak segan untuk bertanya mengenai hal pribadinya. Mengingat
kami sudah benar-benar menjadi teman, Ia sering membantuku mengerjakan masalah
atau mencarikan materi untuk tugas kuliahku. Masa lalunya yang silam, tak
membuatku enggan untuk dekat dengannya, karena aku tahu sesungguhnya ia pemuda
yang sopan, baik, serta perhatian. Meski aku tak pernah berusaha
memanfaaatkannya, tapi ia sering kali menawarkan bantuan padaku. Terkadang ketika
aku melihat Umi lelah menemani Abah, aku memaksanya untuk pulang. Aku
menggantikan Umi menemani Abah.Idris tak tinggal diam, Ia ikut berjaga di ruang
tunggu karena menghawatirkan sesuatu terjadi padaku karena aku sering menginap
di Rumah Sakit.
Kebaikan Idris padaku membuat Umi
dan Aisyah mengenal dekat sosok Idris. Mereka sering kali mengajak Idris
ke rumah. Lama-lama..Ku perhatikan sikap Aisyah yang aneh, hingga suatu hari
kutemukan buku diary Aisyah yang berisi curhatan perasaannya pada Idris. Aku
begitu kaget ketika membacanya. Entah mengapa aku begitu cembuiru dan terluka
mengetahui aisyah menyukai Idris. Meski demikian Aku mencoba untuk tidak
menampakn kecemburuanku pada Aisyah. Aku lebih senang melihat Adikku bahagia
dengan pilihannya. Meski aku tahu sesungguhnya Idris menyimpan perasaan lebih
padaku.Aku mencoba bersikap biasa meski aku pun berharap lebih padanya.
Suatu ketika aku mendapat kabar
bahwa Idris mengalami kecelakaan.Ramdhan tak sengaja menabrak Idris. Ia
membawanya ke Rumah Sakit tempat dimana
Abah dirawat.Aku tak menyangka mereka adalah sahabat kecil.Aku yang tengah
menjenguk Abah pun bergegas menuju Ruang UGD untuk melihat kondisi Idris. Aku tak
bisa membayangkan apa yang akan terjadi mengingat penyakit yang di
deritanya. Tiba disana, Ramdhan menceritakan apa yang telah terjadi. Kini kondisi
Idris kritis. Aku hanya mampu melihatnya di balik kaca karena dokter tak
mengizinkan kami masuk. Aku tak sanggup menahan air mataku meski Ramdhan berusaha
menenangkanku. Meski aku sadar, Ia begitu cemburu menyaksikan butir air mata yang
ku teteskan untuk Idris, tapi ia begitu tegar. Dialah sosok pemuda yang begitu
dewasa, membuatku sadar betapa ia terlalu baik untuk ku.
Tiba-tiba ponselku berdering.Aisyah
memintaku agar segera ke Ruang Melati 05 tempat Abah dirawat. Aku dan Ramdhan
bergegas melihat kondisi Abah. Ternyata Abah telah sadar meski tampak sulit
untuk sekedar menyampaikan sepatah kata padaku..Beliau berpesan agar aku
menjaga Umi dan Aisyah. Beliau juga begitu ingin menyaksikan pernikahanku dengan
Ustadz Ramdhan segera. Umi memintaku agar bersedia memenuhi permintaan
Abah, karena mungkin akan jadi permintaan beliau yang terakhir kalinya. Demi rasa
ta’dzim pada
Umi dan Abah, aku bersedia memenuhinya. Dengan mahar seperangkat alat sholat
serta 1 buah mushaf
Al-Qur’an, ijab qobul pun berlangsung. Selesai lafadz ijab qobul itu dibacakan, Abah menghela nafas
panjang untuk yang terakhit kalinya. Hatiku teriris menyaksikannya menyaksikan
kepergian orang yang begitu berjasa di hidupku.
Sementara itu, Umi membawaku keluar
untuk menenangkan diri menunggu pengurusan jenazah Abah. Aku melihat dokter yang
tadi merawat Idris berlalu lalang dengan nada percakapan yang begitu panik pada
seorang suster. Pikiranku mulai kacau. Aku bergegas ke Ruang UGD. Ramdhan dan
Aisyah mengikutiku. Tak berselang lama dokter keluar dan mengizinkan salah satu diantara kami masuk. Penanganan khusus yang dilakukan dokter membuat kami tak
bebas menemani Idris. Akhirnya aku memutuskan agar Aisyah yang menemani Idris
mempertimbangkan betapa sedihnya Aisyah membuatku mengalah. Aku menunggu Aisyah
keluar, Ramdhan terdiam melihatku tak bersuara sedikit pun. Ia ikut menangis
melihat aku menangis penuh kesedihan.”Rahma..aku tahu bagaimana sesungguhnya
perasaanmu pada Idris. Apa kau ikhlas menjalani semua ini?” Tanyanya berharap aku
berkata jujur. Aku hanya mengangguk kecil. Betapa pun pahitnya ini aku akan coba ikhlas kan.Aku selalu berkeyakinan
bahwa apa yang terbaik menurut-NYA pastilah terbaik juga untukku.
Beberapa saat kemudian Aisyah
keluar.Ia memberi tahuku bahwa Idris terus memanggil namaku. Akhirnya aku pun
memasuki ruang tersebut. Idris memandangku. Ia memberiku sebuah sapu tangan. Itu
adalah sapu tangan yang sempat jatuh saat pertyama kali aku mengenal
Idris. ”Kemarilah.. Bawa Ramdhan dan Aisyah masuk. “Pintanya padaku.Ramdhan dan
Aisyah pun ikut masuk.”Rahma..maaf aku baru sempat mengembalikan ini
padamu. Jaga baik-baik! Aku tahu Ramdhan begitu mencintaimu. Dan untukmu
aisyah, terimakasih untuk ketulusanmu. Maafkan aku yang tak memiliki perasaan
yang sama dengan mu.” Idris mendekatkan tanganku dan Ramdhan, Butir air mata
membasahi pipinya.”Jagalah Cinta kalian..Aku turut bahagia menyaksikan
kebahagiaan sahabatku, Berjanjilah padaku Ramdhan.” Ramdhan memeluknya
erat.Namun itulah pelukan terakhir yang mampu kusaksikan diantara 2 orang yang
berharga di hidupku. Isak air mata mewarnai kepedihan yang tergambar jelas
menyisakan kepedihan bagi kami.
Ketika semua beranjak pergi dari
pemakaman, aku tetap berdiam menangis disamping batu nisan Abah dan
Idris.Ramdhan mengusap air matakudengan sapu tangan yang ku genggan erat di
tanganku. Tak sengaja sehelai kertas jatuh dari dalamnya. Ramdhan mengambilnya
dan membacakan isi kertas tersebut padaku.”Rahma..aku mungkin tak sesempurna
yang kau mau. Tapi kasih ini tulus, hanya teruntuk dirimu..Bukan karena cintaku
yang tak sebening bola matamu, Tapi karena aku hanya mampu berada di balik
bayangmu hingga membuatku tak mampu utarakannya padamu. Menyaksikan sesosok
insan yang begitu pantas untukmu membuatku pun mersa dalam cinta-NYA. Karena senyum mu adalah
darah di kehidupanku. Dibalik bayangmu,Ku bersandar meraih cintaNYA...”Dari
dalam hatiku terasa hujan tangis menderu.Betapa cinta adalah rahasia-NYA,Sebesar apapun cinta kita
pada makhluk, hanya DIA lah yang mampu berkehendak memilih yang terbaik bagi tiap-tiap makhluk ciptaan-NYA.
~THE END~