Kamis, 16 April 2015

MUSLIM KETURUNAN atau MUALAF, MANA YANG LEBIH BAIK?



“ MUSLIM KETURUNAN atau MUALAF, MANA YANG LEBIH BAIK? “

Beberapa waktu yang lalu, media pernah begitu gencar menggembor-gemborkan tentang perpindahan agama. Berbagai hal mulai ditelisik seputar alasan mengapa seseorang berpindah keyakinan dan bagaimana proses perpindahan keyakinan yang mereka jalani. Dalam islam sendiri perpindahan agama atau keyakinan bukanlah hal baru. Banyak orang yang tadinya non muslim lantas memilih untuk menjadi muslim dan biasa dikenal dengan sebutan mualaf. Pada dzaman Rasulullah, banyak sekali sahabat yang berbondong-bondong masuk islam dan memutuskan mengucapkan dua kalimat syahadat. Bukan saja dari golongan Assabiqunal awwalun, namun banyak juga yang dari golongan kaum yahudi dan nasrani yang akhirnya memilih jalan islam. Sebagian besar umat muslim di dunia ini bahkan telah banyak di dominasi oleh para mualaf.

Lalu bagaimana dengan Indonesia ? Negara yang memiliki umat muslim terbanyak di dunia ini dahulu bukanlah negara dimana islam di lahirkan. Jadi menyebarnya islam di tanah air adalah perjuangan umat muslim terdahulu yang tercatat dalam sejarah dibawa pertama kali oleh kaum pedagang dari India dan Khujurat. Mereka melakukan transaksi jual beli sembari menyalurkan da’wah islam di Nusantara. Dengan apa islam dapat menyebar hingga seluas sekarang ini ? Apakah penganut islam memilih menjadi muslim karena paksaan ? Tentu saja tidak. Islam adalah agama yang membawa misi da’wah secara damai tanpa kekerasan. Maka penyebarannya diterima dengan tangan terbuka oleh para warga pesisir pantai yang menyambut hangat kedatangan pedagang musllim tersebut. Bahkan islam sangat disegani karena tak pernah membeda-bedakan kasta/derajat manusia secara duniawi.  Oleh sebab itu islam membumi dan dapat diterima dengan baik dan hingga kini menjadi agama mayoritas di Indonesia.

Tak hanya disebarkan melalui agenda dagang saja. Dalam perkembangannya, islam disebarluaskan melalui banyak hal seperti pendidikan, seni, perkawinan dan akulturasi budaya. Banyak warga pribumi yang akhirnya menikah dengan kaum musllim pada saat itu hingga terlahirlah begitu banyak generasi penerus islam hingga sampai pada masanya islam telah mendominasi tak hanya di Indonesia, tapi pada banyak negara di dunia. Maka sejak saat itu sebutan mualaf tak lagi asing di telinga. Lalu, di dzaman modern seperti sekarang apakah penyebarluasan masih berlangsung ? Jawabannya Ya. Islam akan terus berkembang dan melahirkan bibit-bibit baru meneruskan perjuangan da’wah. Jadi tentu akan terlahir banyak mualaf seperti yang terlihat pada saat ini. Pertanyaannya “ Apakah seorang mualaf memiliki hak yang sama dengan muslim keturunan atau seseorang yang terlahir sebagai muslim ? Apa eksistensi mereka untuk memajukan islam ? Lebih baik mana secara kualitas antara muslim keturunan dibanding seorang mualaf ? “

Menanggapi berbagai macam isu dan berita yang memojokkan islam saat ini, saya akan memberi ulasan terkait pertanyaan di atas. Sebelumnya, Apakah kita pernah mendengar bahwa menjadi seorang muslim adalah sebuah hidayah ? Saya rasa sering. Pada dasarnya seseorang terlahir kedunia ini tidak membawa bakat tentang suatu keyakinan apapun. Jadi pada intinya, entah kelak dewasa nanti mereka akan menjadi muslim, nasrani, yahudi, atau umat beragama apapun itu akan lebih di pengaruhi oleh pendidikan orangtua tentang keyakinan mereka yang biasanya ditularkan pada anaknya. Namun ingin saya perjelas bahwa menjadi seorang muslim bukanlah takdir. Ingat BUKAN TAKDIR ! Mengapa saya katakana demikian ? Karena, sejatinya setelah dewasa seseorang cenderung memikirkan banyak hal tentang keyakinan yang dianutnya. Pada kenyataannya tiap-tiap manusia diberikan kesempatan untuk memilih jalan hidupnya, begitu pun terkait persoalan agama. Jadi menjadi umat beragama apapun itu pilihan. Saya tekankan, PILIHAN !.

Tak aneh bukan mendengar banyak orang dengan banyak profesi ? Begitu pula dengan banyak umat beragama. Karena pada dasarnya kita diberi kesempatan untuk memilih. Allah telah menganugerahi kita dengan otak dan akal yang sempurna, maka perkara menjadi apa dan siapa kita itu adalah perkara pilihan. Jika ada banyak orang untuk memilih menjadi mualaf, maka ada banyak alasan pula yang akan mendasaari mereka untuk mengambil keputusan tersebut. Mulai dari karena pernikahan (mendominasi), ilham, mimpi, kesadaran, dan lain sebagainya. Terkait dengan alasan-alasan tersebut, tidak salah jika kita memilih jalan islam dengan alasan kita masing-masing.

Lantas, Apakah kita pernah mendengar seseorang bertanya mengapa setelah pernikahan lantas terjadi perceraian seorang mualaf cenderung murtad kembali ? Sedangkan di lain sisi ada yang berkata bahwa seorang mualaf cenderung lebih kuat imannya dari pada mereka yang menjadi muslim karena keturunan ? Fenomena ini tengah menjadi pergunjingan di masyarakat kita. Saya ambil contoh. Siapa yang tidak tahu Ustadz Felix Siauw yang notabennya seorang mualaf keturunan tionghoa ? Hebat bukan seorang mualaf namun bisa menjadi tokoh besar islam yang berkontribusi banyak terhadap islam ? Kira-kira apa yang akhirnya melatarbelakingi beliau untuk memilih jalan islam ? Apa karena perkawinan ? Tentu saja tidak. Beliau menjadi seorang mualaf ketika berumur 18 tahun dan belum menikah. Intinya, beliau mengaku menjadi muslim karena beliau berikir. Memikirkan tentang islam dan mengilhami Al-Qur’an, barulah kemudian Allah berkenan menganugerahinya hidayah islam untuk menjadi seorang mualaf. Namu melihat konsistensinya kini, mungkin kita yang muslim keturunan akan iri jika membandingkan keberhassilan da’wah beliu dengan kita yang masih pas-pasan yaa ? Contoh lain adalah pada banyak kasus perkawinan yang akhirnya membawa seorang mualaf memilih menjadi seorang mualaf namun murtad kembali setelah terjadinya perceraian. Kasus ini sangat banyak daan dapat saya simpulkan bahwa keislamannya belum membawanya pada kuatnya iman, sehingga masih mudah tergoyahkan.

Menjadi mualaf karena perkawinan memang tidaklah salah. Telah banyak dihasikan keturunan muslim dari buah perkawinan muslim dan mualaf. Namun, apabila seseorang memutuskan menjadi musim karena sebab perkawinan dan selanjutnya akalnya tidak digunakan untuk memikirkan jalan islam tentu saja ini yang akan berakibat fatal . Bisa dikatakan keislamannya hanya karena pernikahan tanpa adanya sebuah kesadaran. Jadi baiknya seorang mualaf adalah mereka yang mau memikirkan tentang Al-Qur’an dan menggunakan akalnya untuk mengilhami islam karena sekali lagi menjadi muslim bukan takdir melainkan PILIHAN. Lalu apa perbandingannya antara mualaf dan muslim keturunan ? Benarkah bahwa mereka yang mualaf cenderung lebih kuat imannya dibanding kita yang muslim keturunan ?

Saya rasa telinga orang Indonesia tak asing dengan ungkapan “ Mualaf cenderung lebih kuat imannya dari pada muslim keturunan “. Faktanya memang banyak mualaf yang kemudian lebih teguh memegang imannya daripada kita yang muslim keturunan. Mengapa ? Karena, biasanya seseorang yang terlahir menjadi muslim atau muslim keturunan cenderung biasa-biasa saja dengan aksi agamis yang dia lakukan. Dalam arti. Karena sedari kecil muslim keturunan sudah banyak tahu perihal agama maka tak sedikit dari pada muslim keturunan yang tidak fanatic dalam urusaan agama dan menganggap enteng amalan-amalan ringan. Al-hasil, karena seringnya menganggap enteng urusan agama, maka dia lebih mudah melepas keislamannya ketika banyak factor X mempengaruhi ketauhidannya. Tak jarang bukan kita jumpai muslim keturunan yang pada akhirnya murtad ? Sesungguhnya hal ini tak jauh beda dengan kasus mualaf  karena perkawinan. Persamaannya, karena pada saat menjadi muslim mereka cenderung berhenti atau bermalas-malasan menggunakan akalnya untuk mengilhami Al-Qur’an, sehingga keislamannya pun akan mudah tergoyahkan. Lalu bagaimana dengan seorang mualaf, Bukankah mereka juga punya potensi yang sama untuk kemudian kembali ke keyakinan asal mereka ?

Jika memperhatikan Ustadz Felix  contoh dari salah satu mualaf yang berhasil memegang ketauhidannya  tadi, selintas barangkali kita akan membenarkan pernyataan “ Mualaf cenderung lebih kuat imannya daripada muslim keturunan “. Tapi tahan sejenak. Pada dasarnya tak sepenuhnya pernyataan diatas benar. Bukankah semua itu tergantung manusianya ? Hanya saja, terdapat perbedaan mendasar antara muslim keturunan dan mualaf. Dalam banyak kasus dijumpai bahwa biasanya, mualaf memutuskan menjadi muslim karena mereka telah benar-benar yakin dengan keputusannya menjadi muslim. Dengan kata lain, mereka telah memikirkan tentang islam terlebih dahulu sebelum akhirnya hidayah datang dan membawanya pada jalan islam. Selebihnya seorang mualaf yang sungguh-sungguh dengan keimanannya akan menggunakan akalnya untuk mengilhami Al-Qur’an agar keimanan mereka semakin kuat. Nah disinilah perbedaan antara mualaf dan muslim keturunan terlihat jelas. Karena banyak sekali muslim keturunan yang lantas berhenti menggunakan akalnya untuk mengilhami Al-Qur’an meski mereka mendapatkan pendidikan islam jauh lebih dulu dari para mualaf. Begitu pula dengan mualaf karena pernikahan. Karena sebaik-baik alasan masuknya seseorang menjadi muslim adalah karena mereka telah memikirkan islam dan betul-betul yakin terhadap agama baru yang dianutnya tersebut. Kenapa ? Karena hidayah tidak datang begitu saja, melainkan datang saat akal dan rasio mau digunakan untuk membaca alam dan kuasa-NYA.

Pada intinya memang semua tergantung pribadi masing-masing. Entah itu mualaf maupun muslim keturunan tak ada beda derajatnya dimata Allah, yang membedakan hanya ketaqwaannya saja. Jadi muslim keturunan dan mualaf memiliki kesempatan yang sama dalam hal eksistensinya dalam kemajuan islam. Kembali pada pembahasaan sebelumnya, karena pada hakikatnya menjadi muslim adalah pilihan maka sebuah pilihan pula untuk meningkatkan kualitas kita sebagai seorang muslim atau stagnan dengan pengetahuan dan eksistensi di dunia islam. Semua itu PILIHAN. Contoh keberhasilan Ustadz Felix dalam berdakwah hanyalah sebagian contoh kecil dari pada keberhasilan banyak mualaf di bumi ini, kita yang muslim keturunan semoga semakin termotivasi dengan kisah tersebut. Ingat, mau maju atau tidak, bukan perkara takdir tetapi semua itu adalah pilihan.

By : Desi Lestari
@Kamis, 16 April 2015. 11.05 PM.

PRIBADI VISIONER



“ PRIBADI VISIONER “

Pernah mendengar ada seorang anak kecil mengutarakan keinginan atau cita-citanya kelak ?
Apa tanggapan kita saat seorang anak yang masih begitu belia atau polos itu mengandai-andai tentang masa depannya kelak ? Biasanya reaksi yang muncul jika yang menanggapi adalah sesama anak kecil,mereka akan tertawa lalu mengatakannya “ Ah menghayal !” atau “ Gila ! Mimpi apa bisa kayak gitu ?!” dan berbagai macam ungkapan lain yang sejenisnya. Lalu bagaimana jika yang menanggapi adalah orang yang lebih berumur ? Jawabannya, mungkin tak jauh beda. Tapi ada sebagian kecil yang akan menanggapinya serius lalu menyemangatinya. Bayangkan bahwa mereka telah benar-benar menggapai angan-angan mereka dengan sukses ! Kita yang tadinya menertawakan mungkin akan beralih ekspresi dengan menyambutnya girang.  Semua hanya perkara NANTI. Ya, memang nanti. Nanti saat semua benar-benar terwujud, tapi tanpa ada pengandaian atau sebuah misi, Apa kira-kira yang akan menjadi tujuan kita di masa depan ? Apakah pantas disamakan dengan anak kecil yang hanya sekenanya menjawab  pertanyaan cita-cita mereka ?

                Setiap insan telah dengan sempurna Allah ciptakan dengan berbagai macam kelebihan yang tak dimilki makhluk  lainnya. Tapi, pernahkah kita berfikir untuk memanfaatkan kemampuan kita semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan kita masing-masing ? Bahkan barangkali, ada yang belum memiliki tujuan hidup. Lalu bagaimana kita bisa hidup lebih baik untuk mempersiapkan masa depan jika tak ada visi,cita-cita, atau tujuan di masa depan ? Apa pentingnya sebuah tujuan dalam hidup ?
Dengan contoh anak kecil yang mencoba merangkai cita-cita sejak dini, pantasnya kita berkaca bahwa mereka anak kecil yang pemahamannya masih belum seberapa pun tahu bahwa hidup ini harus memiliki tujuan atau visi untuk dijadikan pedoman dalam menapaki jejak kehidupan. Kita seringkali berfikir untuk hidup mengikuti arus saja dengan kata-kata sederhana yang kurang lebih “ Let it flows guys “ begitu fasih dan ringan di lidah. Tahukah kita bahwa ungkapan ini belum tentu sesuai dengan semua kondisi terlebih jika menyangkut tujuan hidup ? Apa alasannya ?

                Salah satu teladan terbaik yang pernah hadir di tengah-tengah kita adalah beliau Rasulullah SAW. Beliau pernah menyinggung tentang pentingnya sebuah misi dalam sebuah perang besar yang dipimpinnya kala itu. Perang Parit namanya. Apa yang beliau wasiatkan untuk kita agar memiliki visi dan misi dan menghindari kepasrahan terhadap takdir tanpa berusaha mendahuluinya sebelum menyerah ?
Berikut kisahnya.
“ Suatu saat Rasulullah pernah memerintahkan seluruh penduduk Madinah, baik muslim, nasrani, maupun yahudi untuk sama-sama keluar ke perbatasan kota dan menggali parit sejauh 8 km. Parit itu dibuat untuk menghadapi perlawanan kaum kafir quraisy  yang ingin menghabisi riwayat islam dengan mengumpulkan koalisi pasukan sebanyak 10.000 orang beranggotakan kafir quraisy, yahudi, dan para munafik.
Menghadapi kenyataan ini, tak sedikit kaum muslim yang panik dan takut menghadapi ancaman berat ketauhidan mereka. Hanya yang memiliki iman kuat yang tampaknya masih bersemangat mengemban amanah Rasull untuk tak goyah dengan keadaan. Persiapan kaum muslim tengah berjalan. Di terik matahari khas timur tengah, mereka menggali berkubik-kubik tanah untuk memenuhi permintaan Rasulullah. Dalamnya parit sekitar 3 meter dan lebarnya minimal harus 5 meter. Tak terbayang bukan keletihan yang menemani tugas berat tersebut ? Tekanan dan ancaman yang membayangi umat muslim nyata membara di depan mata. Namun Rasulullah sanggup menahan diri dan tetap bersemangat menggali parit. Sampai suatu ketika saat menggali parit, Rasululah menghancurkan batu besar berkeping-keping  yang tadinya tak mempan oleh kapak-kapak sahabat. Rasulullah menghantam batu itu dengan tiga pukulan, masing-masing diawali basmallah, dan bersabda yang artinya :
 ---Allahu Akbar,telah diberikan kepadaku kunci-kunci kerajaan Syam. Demi allah saat ini aku benar-benar melihat istana-istana merahnya dari tempatku ini. Allahu Akbar, telah diberikan kepadaku kunci-kunci kerajaan Persia. Demi Allah aku benar-benar  melihat kota-kotanya dan istana-istana putihnya dari tempatku ini. Allahu Akbar, telah diberikan kepadaku kunci-kunci kerajaaan Yaman. Demi Allah, aku benar-benar melihat pintu-pintu Shan’a dari tempatku ini.--- ( HR. Ahmad )
Padahal saat itu Madinah hanya sebuah kota dengan luasan yang jauh lebih kecil dari Jawa Barat. Sedangkan pada masanya,  Romawi di Syam adalah negara adikuasa disitu, begitupun Per sia yang juga Negara super power saat itu.  Tentu saja ditengah kepanikan yang melanda Madinah kala itu, emosi kaum Yahudi terpancing. Mereka tercengang mendengar pernyataan Rasulullah yang tidak masuk akal bagi mereka. Hingga kata-kata keji keluar dari lisan mereka  “ Muhammad gila !” .“

                Begitulah singkat cerita tentang sebuah perang besar yang akhirnya dimenangkan oleh Umat Muslim. Secara logika, 1000 pasukan melawan 3000 pasukan, tentu 3000 pasukan itu tidak akan sanggup menang. Tapi kenyataaan telah membalikkan keadaan. Apa kira-kira yang menjadi kunci keberhasilan umat muslim saat itu? Rasulullah telah dengan tegas menjawabnya. Yaitu, karena sebuah visi. Ya, Rasull telah membakar semangat kaum muslim yang pada saat itu begitu takut menghadapi tekanan yahudi. Maka tak tanggung-tanggung, Rasulullah mendapat julukan “ gila “ dari musuhnya itu. Tapi, bagi beliau apalah yang lebih penting dari pada memajukan umat islam dengan sebuah visi dan misi besar agar langkah mereka terarah seperti pada keberhasilan perang parit tersebut.

                “ Sinting, gila, menghayal, mimpi, utopis, edan, dan sebagainya adalah ungkapan biasa bagi pribadi visioner seperti Rasulullah.” Jika Rasull saja telah mewariskan perjuangan yang visioner seperti itu kepada kita, lalu pantaskah kita masih bermalas-malasan dan menjalani hidup mengalir saja seperti yang biasanya kita ungkapkan ? Mungkin kita lupa, Allah pernah menganugrahi kita manusia sebagai khalifah dimuka bumi. Tugas yang berat untuk kita menjadi contoh dan tauladan bagi makhluk lain. Namun bisakah kita menjadi lebih baik dan meraih masa depan cerah jika tanpa visi yang besar yang Rasull contohkan pada kita? Jika takut diberi label “ gila “ seperti Rasull kala itu, sebut saja kita tak bermental. Tak berani mengambil sikap dalam menentukan langkah kita kedepan. Menentukan tujuan hidup agar terarah dan tak berada di jalur yang menyesatkan. Karena itulah tujuan sebuah visi.

                 Kebanyakan manusia hanya dapat menangkap sesuatu sesuai dengan apa yang dilihatnya saat ini. Pantas saja jika ada anak kecil yang masih suka bermain lantas mengutarakan cita-citanya menjadi dokter,kita tertawakan. Padahal sikap seorang visioner pasti mampu melihat lebih dari pada itu. Bahwa sesungguhnya dibalik sebuah misi yang disertai usaha keras, maka berbuahlah sesuai  angan atau visi yang diharapkan.  Dia melihat dengan akalnya, dengan keimanannya.  Jika sebuah visi telah kita genggam, langkahkan kaki untuk terus bergerak agar tidak melenceng dari visi yang telah digariskan. Dunia menunggu banyak action dari orang-orang yang memiliki cita-cita besar, bukan dari mereka yang mengharap keajaiban di siang bolong atau menunggunya dengan kepasrahan.

                Terbukti, dunia akan selalu diarahkan oleh orang-orang yang visioner. Sementara orang-orang pragmatis mengikutinya. Mungkin, 1400 tahun lalu bila ada seseorang yang menyampaikan bahwa islam akan menguasai 1/3 dunia tidak akan ada yang percaya. Namun, kita bisa membuktikan saat ini bahwa islam pernah menguasai 1/3 dunia dengan khilafahnya. Tentu, sebuah visi mulia lah yang menyampaikan islam pada masa kejayaannya. Siapa lagi jika bukan Muhammad SAW yang  menyampaikannya pada saat beliau massih hidup. Kita sebagai umat pengikut setia Nabi junjungan kita Muhammad SAW pantas berbangga karena memiliki suri tauladan yang sempurna, yang mengarahkan kita pada cahaya dimana islam dan umatnya bersatu padu karena cita-cita besar sebagai rahmatan lil’alamin.

                Oleh karenanya,  visioner atau pribadi yang memiliki visi adalah sikap wajib bagi kita. Bagaimana mungkin visi besar yang diwariskan Rasull untuk melihat kejayaan islam dengan permata dan kilauan cahaya terindah dapat terwujud jika kita yang diwarisi saja enggan mencontoh beliau dalam bervisi dan bertindak ? Satu fakta besar yang tak terelakkan, bahwa seandainya Rasulullah tak memberikan visi pada sahabat, tentu islam tak akan besar seperti saat ini. Jadi, dengan meyakini visi yang diberikan Allah dan Rasull-NYA, serta berjuang sekuat tenaga untuk mencapainya tidak akan dilakukan maksimal apabia kita tidak visioner. Al hasil, sudah bisakah kita menentukan visi untuk mengarahkan langkah kaki ? Siapkah kita menjadi visioner seperti sabda Nabi ? Insya Allah, dengan ketekunan dan kegigihan, tak ada hal mustahil yang patut menjadi rintangan. Pertolongan Allah selalu bersama orang-orang  yang visioner. Bukankah allah adalah tempat bagi segala kemustahilan ???
Selamat bervisi, dan memperjuangkannya dengan aksi !.

                                By:  Desi Lestari
                                @15-Apr-15 : 11.41 PM
               

Senin, 02 Maret 2015

BAHAGIA SEJATI (Truly happiness)

Hidup bukanlah rutinitas tanpa henti. Ada saat dimana jeda waktu sangat berharga dalam merenungi langkah-langkah yang telah ditapaki. Jika apa yang kita kerjakan saat ini adalah perjuangan mencapai kesuksesan, maka apa sesungguhnya yang di cari ? Apa puncak dari semua yang ingin kita gapai dalam proses kehidupaan ini? Bukankah kita semua hanya berharap kebahagiaan adalah tujuan ? Lalu dimana ia berada? Harus dimana kita mencarinya? Ah sungguh betapa banyak pertanyaan akan muncul dan mulai terjabarkan jika kita bicara tentang tujuan hidup ini.
                Pada dasarnya toh hidup adalah sebuah proses. Dimana apa yang kita jalani adalah bentuk usaha kita mencapai taraf hidup yang lebih baik. Setelah Allah menetapkan kita sebagai khalifah di bumi-NYA, maka sejak itulah proses kehidupan yang pelik berlangsung. Masing-masing kita melewati hidup dengan caranya masing-masing. Tapi, sesungguhnya tujuan kita pasti sama, mendapatkan kebahagiaan dan menjadi yang terbaik dalam menjalani kehidupan kita masing-masing. Maka terlalu sulit untuk melepaskan diri dari tanggungjawb berat yang harus kita jalani sebagai khalifah (pemimpin) di bumi ini. Kita selalu dituntut untuk menjadi teladan bagi makhluk lain yang tidak lebih sempurna penciptaanya dari kita. Semua itu akan kita jalani dengan proses. Apapun yang terjadi, proses kehidupan tetap berjalan.
                Sekali lagi, hidup tak sampai disini. Karena pasti akan ada hari esok dan seterusnya yang akan tetap berjalan walau kadang kita tak menginginkan banyak hal terjadi. Tentu qodrat dari manusia itu sendiri selalu menginginkan yang terjadi dalam hidup adalah kebahagiaan mewarnai. Tapi pada kenyataannya, semua itu berproses. Jadi mengejar sesuatu yang menjadi tujuan bukan berarti terus berjalan dan tak berhenti sampai dapatnya tujuan itu di depan mata. Sebab sejatinya kehidupan hakiki adalah kehidupan setelah kita mati.-nanti. Lalu untuk apa terus mengejar dan tak menikmati proses kehidupan ini ? Toh semua yang terjadi adalah kenyataan yang mau tidak mau tetap saja terjadi selama kita tak merubah keadaan. Jadi, lupakan sejenak tentang hari esok. Jika benar kebahagiaan adalah sesuatu yang sungguh-sungguh kita cari, maka ia ada dan selalu medampingi.
                Dalam hati sering bertanya “ Dimana kita bisa menemukan kebahagiaan ? Biasakah ia ada dalam genggaman dan tak beranjak pergi walau berbagai prosess kehidupan tetap terjadi ? “
Jawabannya. Berhentilah mencari. Bukankah analoginya, ketika kita mencari sesuatu, berarti sesungguhnya apa yang ingin kita dapatkan itu belum kita temukan sehingga perlu untuk terus dan terus mencari? Lalu sampai kapan? Rasanya akan sangat terbuang sia-sia hidup ini jika digunakan hanya dengan mengejar-ngejar yang tak ada ujungnya itu. Ingatlah, kehidupan adalah proses, dan bukan rutinitas tanpa henti.

                Ketika semua kesadaran mulai menghinggapi, perlahan otak ini akan berputar pada masa lalu yang telah terlewati. Sesungguhnya masa lalu tetaplah masa lalu, dan akan menjadi bagian dari sejarah. Bagaimana jika kita nikmati saja sejarah itu ? Mengapa? Karena, betapapun sejarah terjadi,ia adalah hikmah yang bermakna untuk mengukir masa depan. Jika pun kita menemukan cacat dalam sejarah, kita akan berfikir untuk tidak mengulangnya di masa mendatang. Maka itulah sebenar-benarnya ketercapaian. Ada disaat kita mau menikmati. Masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang berharap adalah rangkaian cerita indah yang menjadi bukti perjuangan jejak khalifah-NYA ( kita ) di bumi yang fana, dan tak seorang pun menetap dan abadi. Hayati, rasakan sejenak ketenangan dalam diri. Lupakan rutinitas yang memaksa otak membagi waktu dalam. Dan nikmati segala ketercapaian yang ada, maka mengawal kehidupan akan lebih mudah kita rasakan dan terasa ringan walau berat di jalani. Disitu perlahan kebahagiaan terasa ada, semakin dekat. Ia ada dalam kesederhanaan hati menapaki puzzle kehidupan. Menerima setiap proses dan menjalaninya dengan antusias. Percayalah “ Itulah Bahagia Sejati “.

By: Desi Lestari