“ MUSLIM
KETURUNAN atau MUALAF, MANA YANG LEBIH BAIK? “
Beberapa waktu yang lalu, media pernah begitu gencar
menggembor-gemborkan tentang perpindahan agama. Berbagai hal mulai ditelisik
seputar alasan mengapa seseorang berpindah keyakinan dan bagaimana proses
perpindahan keyakinan yang mereka jalani. Dalam islam sendiri perpindahan agama
atau keyakinan bukanlah hal baru. Banyak orang yang tadinya non muslim lantas
memilih untuk menjadi muslim dan biasa dikenal dengan sebutan mualaf. Pada
dzaman Rasulullah, banyak sekali sahabat yang berbondong-bondong masuk islam
dan memutuskan mengucapkan dua kalimat syahadat. Bukan saja dari golongan
Assabiqunal awwalun, namun banyak juga yang dari golongan kaum yahudi dan
nasrani yang akhirnya memilih jalan islam. Sebagian besar umat muslim di dunia
ini bahkan telah banyak di dominasi oleh para mualaf.
Lalu bagaimana dengan Indonesia ? Negara yang memiliki umat muslim
terbanyak di dunia ini dahulu bukanlah negara dimana islam di lahirkan. Jadi
menyebarnya islam di tanah air adalah perjuangan umat muslim terdahulu yang
tercatat dalam sejarah dibawa pertama kali oleh kaum pedagang dari India dan
Khujurat. Mereka melakukan transaksi jual beli sembari menyalurkan da’wah islam
di Nusantara. Dengan apa islam dapat menyebar hingga seluas sekarang ini ?
Apakah penganut islam memilih menjadi muslim karena paksaan ? Tentu saja tidak.
Islam adalah agama yang membawa misi da’wah secara damai tanpa kekerasan. Maka
penyebarannya diterima dengan tangan terbuka oleh para warga pesisir pantai
yang menyambut hangat kedatangan pedagang musllim tersebut. Bahkan islam sangat
disegani karena tak pernah membeda-bedakan kasta/derajat manusia secara duniawi. Oleh sebab itu islam membumi dan dapat
diterima dengan baik dan hingga kini menjadi agama mayoritas di Indonesia.
Tak hanya disebarkan melalui agenda dagang saja. Dalam perkembangannya,
islam disebarluaskan melalui banyak hal seperti pendidikan, seni, perkawinan
dan akulturasi budaya. Banyak warga pribumi yang akhirnya menikah dengan kaum
musllim pada saat itu hingga terlahirlah begitu banyak generasi penerus islam
hingga sampai pada masanya islam telah mendominasi tak hanya di Indonesia, tapi
pada banyak negara di dunia. Maka sejak saat itu sebutan mualaf tak lagi asing
di telinga. Lalu, di dzaman modern seperti sekarang apakah penyebarluasan masih
berlangsung ? Jawabannya Ya. Islam akan terus berkembang dan melahirkan
bibit-bibit baru meneruskan perjuangan da’wah. Jadi tentu akan terlahir banyak
mualaf seperti yang terlihat pada saat ini. Pertanyaannya “ Apakah seorang
mualaf memiliki hak yang sama dengan muslim keturunan atau seseorang yang
terlahir sebagai muslim ? Apa eksistensi mereka untuk memajukan islam ? Lebih
baik mana secara kualitas antara muslim keturunan dibanding seorang mualaf ? “
Menanggapi berbagai macam isu dan berita yang memojokkan islam saat
ini, saya akan memberi ulasan terkait pertanyaan di atas. Sebelumnya, Apakah
kita pernah mendengar bahwa menjadi seorang muslim adalah sebuah hidayah ? Saya
rasa sering. Pada dasarnya seseorang terlahir kedunia ini tidak membawa bakat
tentang suatu keyakinan apapun. Jadi pada intinya, entah kelak dewasa nanti
mereka akan menjadi muslim, nasrani, yahudi, atau umat beragama apapun itu akan
lebih di pengaruhi oleh pendidikan orangtua tentang keyakinan mereka yang
biasanya ditularkan pada anaknya. Namun ingin saya perjelas bahwa menjadi
seorang muslim bukanlah takdir. Ingat BUKAN TAKDIR ! Mengapa saya katakana
demikian ? Karena, sejatinya setelah dewasa seseorang cenderung memikirkan
banyak hal tentang keyakinan yang dianutnya. Pada kenyataannya tiap-tiap
manusia diberikan kesempatan untuk memilih jalan hidupnya, begitu pun terkait
persoalan agama. Jadi menjadi umat beragama apapun itu pilihan. Saya tekankan,
PILIHAN !.
Tak aneh bukan mendengar banyak orang dengan banyak profesi ? Begitu
pula dengan banyak umat beragama. Karena pada dasarnya kita diberi kesempatan
untuk memilih. Allah telah menganugerahi kita dengan otak dan akal yang
sempurna, maka perkara menjadi apa dan siapa kita itu adalah perkara pilihan.
Jika ada banyak orang untuk memilih menjadi mualaf, maka ada banyak alasan pula
yang akan mendasaari mereka untuk mengambil keputusan tersebut. Mulai dari karena
pernikahan (mendominasi), ilham, mimpi, kesadaran, dan lain sebagainya. Terkait
dengan alasan-alasan tersebut, tidak salah jika kita memilih jalan islam dengan
alasan kita masing-masing.
Lantas, Apakah kita pernah mendengar seseorang bertanya mengapa setelah
pernikahan lantas terjadi perceraian seorang mualaf cenderung murtad kembali ?
Sedangkan di lain sisi ada yang berkata bahwa seorang mualaf cenderung lebih
kuat imannya dari pada mereka yang menjadi muslim karena keturunan ? Fenomena
ini tengah menjadi pergunjingan di masyarakat kita. Saya ambil contoh. Siapa
yang tidak tahu Ustadz Felix Siauw yang notabennya seorang mualaf keturunan
tionghoa ? Hebat bukan seorang mualaf namun bisa menjadi tokoh besar islam yang
berkontribusi banyak terhadap islam ? Kira-kira apa yang akhirnya
melatarbelakingi beliau untuk memilih jalan islam ? Apa karena perkawinan ?
Tentu saja tidak. Beliau menjadi seorang mualaf ketika berumur 18 tahun dan
belum menikah. Intinya, beliau mengaku menjadi muslim karena beliau berikir.
Memikirkan tentang islam dan mengilhami Al-Qur’an, barulah kemudian Allah
berkenan menganugerahinya hidayah islam untuk menjadi seorang mualaf. Namu
melihat konsistensinya kini, mungkin kita yang muslim keturunan akan iri jika
membandingkan keberhassilan da’wah beliu dengan kita yang masih pas-pasan yaa ?
Contoh lain adalah pada banyak kasus perkawinan yang akhirnya membawa seorang
mualaf memilih menjadi seorang mualaf namun murtad kembali setelah terjadinya
perceraian. Kasus ini sangat banyak daan dapat saya simpulkan bahwa
keislamannya belum membawanya pada kuatnya iman, sehingga masih mudah
tergoyahkan.
Menjadi mualaf karena perkawinan memang tidaklah salah. Telah banyak
dihasikan keturunan muslim dari buah perkawinan muslim dan mualaf. Namun,
apabila seseorang memutuskan menjadi musim karena sebab perkawinan dan
selanjutnya akalnya tidak digunakan untuk memikirkan jalan islam tentu saja ini
yang akan berakibat fatal . Bisa dikatakan keislamannya hanya karena pernikahan
tanpa adanya sebuah kesadaran. Jadi baiknya seorang mualaf adalah mereka yang
mau memikirkan tentang Al-Qur’an dan menggunakan akalnya untuk mengilhami islam
karena sekali lagi menjadi muslim bukan takdir melainkan PILIHAN. Lalu apa
perbandingannya antara mualaf dan muslim keturunan ? Benarkah bahwa mereka yang
mualaf cenderung lebih kuat imannya dibanding kita yang muslim keturunan ?
Saya rasa telinga orang Indonesia tak asing dengan ungkapan “ Mualaf
cenderung lebih kuat imannya dari pada muslim keturunan “. Faktanya memang
banyak mualaf yang kemudian lebih teguh memegang imannya daripada kita yang
muslim keturunan. Mengapa ? Karena, biasanya seseorang yang terlahir menjadi
muslim atau muslim keturunan cenderung biasa-biasa saja dengan aksi agamis yang
dia lakukan. Dalam arti. Karena sedari kecil muslim keturunan sudah banyak tahu
perihal agama maka tak sedikit dari pada muslim keturunan yang tidak fanatic
dalam urusaan agama dan menganggap enteng amalan-amalan ringan. Al-hasil,
karena seringnya menganggap enteng urusan agama, maka dia lebih mudah melepas
keislamannya ketika banyak factor X mempengaruhi ketauhidannya. Tak jarang
bukan kita jumpai muslim keturunan yang pada akhirnya murtad ? Sesungguhnya hal
ini tak jauh beda dengan kasus mualaf
karena perkawinan. Persamaannya, karena pada saat menjadi muslim mereka
cenderung berhenti atau bermalas-malasan menggunakan akalnya untuk mengilhami Al-Qur’an,
sehingga keislamannya pun akan mudah tergoyahkan. Lalu bagaimana dengan seorang
mualaf, Bukankah mereka juga punya potensi yang sama untuk kemudian kembali ke
keyakinan asal mereka ?
Jika memperhatikan Ustadz Felix
contoh dari salah satu mualaf yang berhasil memegang ketauhidannya tadi, selintas barangkali kita akan
membenarkan pernyataan “ Mualaf cenderung lebih kuat imannya daripada muslim
keturunan “. Tapi tahan sejenak. Pada dasarnya tak sepenuhnya pernyataan diatas
benar. Bukankah semua itu tergantung manusianya ? Hanya saja, terdapat
perbedaan mendasar antara muslim keturunan dan mualaf. Dalam banyak kasus dijumpai
bahwa biasanya, mualaf memutuskan menjadi muslim karena mereka telah
benar-benar yakin dengan keputusannya menjadi muslim. Dengan kata lain, mereka
telah memikirkan tentang islam terlebih dahulu sebelum akhirnya hidayah datang
dan membawanya pada jalan islam. Selebihnya seorang mualaf yang sungguh-sungguh
dengan keimanannya akan menggunakan akalnya untuk mengilhami Al-Qur’an agar
keimanan mereka semakin kuat. Nah disinilah perbedaan antara mualaf dan muslim
keturunan terlihat jelas. Karena banyak sekali muslim keturunan yang lantas
berhenti menggunakan akalnya untuk mengilhami Al-Qur’an meski mereka
mendapatkan pendidikan islam jauh lebih dulu dari para mualaf. Begitu pula
dengan mualaf karena pernikahan. Karena sebaik-baik alasan masuknya seseorang
menjadi muslim adalah karena mereka telah memikirkan islam dan betul-betul
yakin terhadap agama baru yang dianutnya tersebut. Kenapa ? Karena hidayah
tidak datang begitu saja, melainkan datang saat akal dan rasio mau digunakan
untuk membaca alam dan kuasa-NYA.
Pada intinya memang semua tergantung pribadi masing-masing. Entah itu
mualaf maupun muslim keturunan tak ada beda derajatnya dimata Allah, yang
membedakan hanya ketaqwaannya saja. Jadi muslim keturunan dan mualaf memiliki
kesempatan yang sama dalam hal eksistensinya dalam kemajuan islam. Kembali pada
pembahasaan sebelumnya, karena pada hakikatnya menjadi muslim adalah pilihan
maka sebuah pilihan pula untuk meningkatkan kualitas kita sebagai seorang
muslim atau stagnan dengan pengetahuan dan eksistensi di dunia islam. Semua itu
PILIHAN. Contoh keberhasilan Ustadz Felix dalam berdakwah hanyalah sebagian
contoh kecil dari pada keberhasilan banyak mualaf di bumi ini, kita yang muslim
keturunan semoga semakin termotivasi dengan kisah tersebut. Ingat, mau maju atau
tidak, bukan perkara takdir tetapi semua itu adalah pilihan.
By : Desi Lestari
@Kamis, 16 April 2015. 11.05 PM.