Kamis, 27 November 2014

Di Balik Bayangmu

Seusai jam kuliah di Kampus aku bergegas mencari taxi untuk mengantar Abah menjalani pemeriksaaan rutin di RS Persahabatan Jakarta Utara. Nampaknya kali ini aku agak terlambat karena ada jam tambahan yang diadakan oleh dosen psikolog pendidikanku. Aku mulai mempercepat langkah berjalan sekeliling kampus mencari taxi. Dari belakang nampak mobil avanza putih melaju kencang,lama-lama semakin mendekat dan hampir saja menabrak ku! Mobil itu seketika mengerem mendadak,, hampir saja menabrak pohon yang tepat berada di depan kampusku. Andai aku tadi tak menghindar, mungkin juga aku yang akan jadi sasaran mobil yang melaju tanpa kontrol itu. Dari balik mobil tampak seorang lelaki yang mencoba keluar dengan luka yang nampak di kepalanya. Mungkin benturan itu terlalu keras hingga membuat langkah lelaki itu tak jelas dan tak berselang lama ia terjatuh! Aku terperanjat! Saat ku hampiri lelaki tadi, ternyata darah berlumuran di kepalanya hingga membuatnya tak sadar. Aku mencari pertolongan hingga datanglah beberapa orang yang membantuku membawanya ke rumah sakit.
Setelah bercakap-cakap dengan dokter, Aku kembali ke ruang dimana Idris dirawat. Kartu tanda pengenalnyalah yang membuatku tahu identitasnya. Perlahan aku mulai membuka pintu. Dia telah sadar, dan nampak kebingungan memandangi ruangan ini.”Aku dimana? Mengapa bisa ada disini?”  Tanya pemuda itu padaku. Aku mencoba menjelaskan padanya perihal peristiwa yang baru saja terjadi.”Oh ya. Namamu Idris bukan? Maaf, tadi dompetmu terjatuh dan Aku menemukan kartu identitasmu.Ambilah..” Sembari menyodorkan ID CARD tersebut. Aku hampir saja lupa bahwa aku harus mengantar Abah Check Up minggu ini,karena Beliau harus cuci darah tiap minggunya. Akhirnya Aku berpamitan pada Idris. “Administrasinya telah Aku selesaikan. Tapi maaf Aku buru-buru jadi Aku akan segera pulang. Semoga kau cepat sembuh.” Aku pun beranjak meninggalkan Rumah Sakit serta bergegas pulang.
Aku mengetuk pintu.Ternyata Umi yang menyambutku.”Dari mana saja Rahma? Apa kau lupa ada jadwal pemeriksaan Abah? Hmm..Kau ini.” Aku tertunduk lemas. Aku menyesali kecerobohanku dan perlahan menceritakan kejadian tadi siang pada Umi dan Aisyah yang tampak kecewa padaku. Beruntung Umi dan Aisyah  memahami keadaanku. Sehingga Aisyahlah yang mengantar Abah. Umi tak sempat mengantar Abah karena harus mengajar ngaji para santri di Pesantren yang didirikan Abah.Hari-harinya kini terasa berat semenjak peran Abah tak seperti dulu yang selalu berperan aktif mengasuh pondok tersebut. Dari pondok yang diasuh oleh Abah telah terlahir ratusan santri yang menjadi hafidz/hafidzoh. Meski Aku bukan putri kandung mereka, tapi setidaknya Aku adalah salah satu dari ratusan santri tersebut.Ya..Aku beruntung karena dipertemukan dengan Umi dan Abah yang sedari kecil merawatku semenjak kepergian kedua orangtuaku pada Sang Khalik. Betapa berartinya kasih sayang sesosok Ibu dan Ayah untuk seorang anak lah yang membuat mereka mengangkatku menjadi anak yang tak pernah mereka bedakan dengan Aisyah, putri kandung mereka. Ketulusan mereka pula yang membuatku pun menganggap Beliau layaknya orangtua kandungku.
Ku baringkan tubuhku di atas ranjang untuk sekedar beristirahat serta menenangkan pikiran. Kejadian tadi siang sungguh tak mudah ku lupakan. Hmm..Betapa tidak? Sesosok pemuda yang ku fikir Ia aneh dan tak jelas asal-usulnya. Bahkan dari penjelasan dokter mengenai penyakitnya, Aku bisa menangkap sedikit keanehan padanya. Sepertinya dia adalah mantan pengguna narkoba. Dia mengidap penyakit hemofilia, Keadaan dimana  apabila seseorang terluka darahnya sulit membeku. Luka bekas kejadian tadi itupun pasti sulit untuk benar-benar kering  sehingga membuat darah terus mengalir di daerah sekitar kepalanya. Aku sungguh tak tega melihatnya karena Ia tak seperti seorang pecandu melainkan pemuda yang begitu sopan. Tapi..Entahlah apa yang membuatnya sampai terjerumus ke barang haram itu.
Mata sayup-sayup mulai terpejam. Tiba-tiba Aku teringat akan sapu tangan pemberian Ustadz Ramdhan waktu itu.”Astaghfirullah..Sapu tanganku sepertinya tertinggal  di Rumah Sakit.Bagaimana ini?” Bagiku itu amat berarti. Sapu tangan itulah yang selalu mengingatkan ku selalu pada sosok Ustadz Ramdhan yang begitu tulus mencintaiku, meski hingga kini Aku tak juga menerima permintaannya untuk melamarku. Kini Ia telah jauh mengejar cita-citanya di Kairo untuk meneruskan pendidikannya di “Fakultas Usuludin Universitas Al-Azhar”. Hatiku tak pernah berkata lebih dari anggapan sebagai seorang kakak padanya. Perhatian yang selama ini Ia berikan tak pernah mampu ruang khusus di hatiku sebagai seseorang  yang lebih dari sekedar kakak atau bahkan Ustadz bagiku. Karena Ia terbilang lebih tua dariku. Umur kami tak berselang jauh, hanya selisih 4 tahun. Sehingga Aku lebih menganggapnya sebagai seorang kakak. Pikiranku berbalik cepat pada sapu tangan itu, Aku berharap suatu saat nanti Aku menemukannya kembali karena Aku tak ingin menyesal sebab tak mampu menjaga pemberian dari orang yang begitu menyayangiku dengan tulus.
Aktivitasku di Kampus mulai berjalan seperti biasa. Dengan berbagai kegiatan ke Organisasian yang ku ikuti,mempertemukanku kembali dengan Idris. Aku tak menyangka bahwa Ia juga mahasiswa dikampusku.Lewat Organisasi “Ikatan Mahasiswa Dakwah Islam NU” membuatku mengenal Idris. Ia adalah mahasiswa Tarbiyah semester 6 dan merupakan seorang aktivis di kampusku. Tak disangka kini Aku mengenal sosok Idris begitu dekat.. Latar belakang serta masa lalu yang begitu suram tak pernah nampak sedikitpun di raut wajah dan kedewasaan yang nampak jelas dalam rona kehalusan budinya.Banyak hal yang terkadang mempertemukanku dengan Idris. Namun,Aku tak pernah bertanya banyak hal padanya selain yang berkaitan dengan kegiatan kampus yang kami ikuti. Aku pun mengenal pribadinya lewat seorang teman dekatnya.
“Assalamu’alaikum..” Salam tersebut berulang  kali ku ucapkan, tapi tak ada jawaban. Hingga akhirnya Aku memberanikan diri untuk masuk rumah karena ternyata pintu tak terkunci. Keadaan nampak aneh ketika kudapati rumah kosong tak berpenghuni. Aku bertanya pada salah seorang santri. Berdasarkan informasi yang ku dapat, Umi baru saja pergi bersama Abah dengan terburu-buru dan diantar oleh beberapa santri. Aku pun mulai cemas! Banyak hal yang Aku takutkan terjadi pada Abah. Aku tahu Abah sosok yang kuat, tapi kali ini firasatku berkata lain. Aku segera menghubungi Umi, tapi tak ada jawaban. Beberapa kali pula ku coba mengirim pesan tapi tak ada balasan, Hingga Aku temukan ponsel Umi tertinggal di Meja Makan. Aku begitu khawatir serta tak sabar ingin tahu apa yang terjadi pada Abah. Otak pun mulai berpikir keras mencari jalan keluar. Beberapa saat Aku terdiam.”Akh.Ya! Mungkin saja Aisyah tahu dimana Umi dan Abah sekarang.”  Aku bergegas mengambil ponselku dan menghubungi Aisyah. Setelah beberapa lama menunggu, terdengar iasak tangis di ujung telephone.”Ada apa Aisyah? Apa sesuatu terjadi pada Abah?” Tanyaku tak sabar menunggu penjelasan Aisyah. Ia tak sanggup berkata banyak hal, dan hanya memberi tahuku bahwa Abah sedang dirawat di Rumah Sakit dan Aku harus segera kesana. Tak berpikir lama,Aku melangkahkan kaki menuju Rumah Sakit.
Tiba di Rumah Sakit, ku dapati Umi, Aisyah,dan beberapa santri tengah menangis di ruang tunggu UGD. Aku menghampiri Umi dan bertanya apa yang terjadi.Tak ada satupun yang memberanikan diri menjelaskan keadaan Abah padaku. Mereka menangis dan Nampak begitu berduka. Hingga akhirnya datanglah seorang dokter padaku. Menurut diagnosa dokter kemungkinan Abah untuk bertahan hanya beberapa persen saja, semua harus kami kembalikan pada NYA dengan terus berdo’a dan memberi dukungan agar Abah mampu melawan penyakitnya. Abah hanya berbaring dengan serangkaian alat yang di pasang di tubuhnya di kondisinya yang koma karena darah dalam tubuhnya yang sudah begitu kotor karena gagal ginjal yang menimpanya sejak 5 tahun silam. Aku duduk disamping Abah. Ku genggam erat tangannya dan ku pandangi sosok orang yang begitu berjasa di hidupku. Tak terasa air mata pun meleleh berlinang membasahi pipi ini. Aku terus berdo’a untuk kesembuhan abah dan agar Abah diberi kekuatan untuk bertahan.
Abah masih terbaring di Rumah Sakit setelah 40 hari lamanya kami menanti kesembuhan Abah. Abah tak kunjung sadar, Beliau masih terbaring lemah dan koma sehingga tak mampu menyaksikan betapa kepedihan Umi yang tak pernah jauh dari RS Persahabatan itu. Tak hanya sekedar menemani Abah, tapi juga senantiasa berkirim do’a dan mengupayakan segala hal untuk kesembuhan Abah. Mengingat Umi tak mampu lagi mengasuh pondok untuk beberapa waktu lamanya, aku pun tak segan-segan menggantikan peran Umi untuk sedikit berbagi  ilmu dengan para santri di pesantren. Meskipun sudah ada beberapa ustadz/ustadzah yang mengajar para santri tapi aku tak mau berpangku tangan saja melihatbetapa repotnya mereka tanpa campur tangan Umi dan Abah.
Tak kusangka libur semester kali ini, Ustadz Ramdhan pulang. Ia kembali memberikan konstribusinya di pesantren ini. Tak hanya mengajar, acap kali Ia berbagi keterampilan tulis menulis yang sudah sejak lama ia tekuni.Sambutan para santri begitu meriah. Mereka menyambut hangat kedatangan Ustadz Ramdhan tak terkecuali kaum hawa/santri putri. Sering kali ku dengar mereka tengah membicarakan Ustadz Ramdhan. Ketika beberapa kali berpapasan, terkadang beliau melontarkan senyum hangatnya padaku. Beliau tak hanya intelek muda yang pantas dibanggakan tapi juga seorang pemuda tampan nan tangguh yang memang pantas di idolakan seorang wanita. Tak heran, Umi dan Abah pun sangat menyukai Ustadz Ramdhan. Beberapa waktu lalu, Umi sempat menyinggung sedikit tentang  pertunangan kami. Umi dan Abah memang telah sepakat menjodohkan kami meski aku tak bisa memungkiri  bahwa aku tak sedikit pun menganggapnya lebih dari seorang kakak.
Aktivitasku di pesantren acap kali berbenturan dengan kegiatan kampus. Dengan harus berputar otak aku pun mencari jalan keluar agar kegiatan kampusku tak terbengkalai mengingat sebentar lagi aku akan menghadapi penyusunan skripsi. Seiring berjalannya waktu, aku dan Idris semakin dekat. Sekarang aku tak segan untuk bertanya mengenai hal pribadinya. Mengingat kami sudah benar-benar menjadi teman, Ia sering membantuku mengerjakan masalah atau mencarikan materi untuk tugas kuliahku. Masa lalunya yang silam, tak membuatku enggan untuk dekat dengannya, karena aku tahu sesungguhnya ia pemuda yang sopan, baik, serta perhatian. Meski aku tak pernah berusaha memanfaaatkannya, tapi ia sering kali menawarkan bantuan padaku. Terkadang ketika aku melihat Umi lelah menemani Abah, aku memaksanya untuk pulang. Aku menggantikan Umi menemani Abah.Idris tak tinggal diam, Ia ikut berjaga di ruang tunggu karena menghawatirkan sesuatu terjadi padaku karena aku sering menginap di Rumah Sakit.
Kebaikan Idris padaku membuat Umi dan Aisyah mengenal dekat sosok Idris. Mereka sering kali mengajak Idris ke rumah. Lama-lama..Ku perhatikan sikap Aisyah yang aneh, hingga suatu hari kutemukan buku diary Aisyah yang berisi curhatan perasaannya pada Idris. Aku begitu kaget ketika membacanya. Entah mengapa aku begitu cembuiru dan terluka mengetahui aisyah menyukai Idris. Meski demikian Aku mencoba untuk tidak menampakn kecemburuanku pada Aisyah. Aku lebih senang melihat Adikku bahagia dengan pilihannya. Meski aku tahu sesungguhnya Idris menyimpan perasaan lebih padaku.Aku mencoba bersikap biasa meski aku pun berharap lebih padanya.
Suatu ketika aku mendapat kabar bahwa Idris mengalami kecelakaan.Ramdhan tak sengaja menabrak Idris. Ia membawanya ke Rumah  Sakit tempat dimana Abah dirawat.Aku tak menyangka mereka adalah sahabat kecil.Aku yang tengah menjenguk Abah pun bergegas menuju Ruang UGD untuk melihat kondisi Idris. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi mengingat penyakit yang di deritanya. Tiba disana, Ramdhan menceritakan apa yang telah terjadi. Kini kondisi Idris kritis. Aku hanya mampu melihatnya di balik kaca karena dokter tak mengizinkan kami masuk. Aku tak sanggup menahan air mataku meski Ramdhan berusaha menenangkanku. Meski aku sadar, Ia begitu cemburu menyaksikan butir air mata yang ku teteskan untuk Idris, tapi ia begitu tegar. Dialah sosok pemuda yang begitu dewasa, membuatku sadar betapa ia terlalu baik untuk ku.
Tiba-tiba ponselku berdering.Aisyah memintaku agar segera ke Ruang Melati 05 tempat Abah dirawat. Aku dan Ramdhan bergegas melihat kondisi Abah. Ternyata Abah telah sadar meski tampak sulit untuk sekedar menyampaikan sepatah kata padaku..Beliau berpesan agar aku menjaga Umi dan Aisyah. Beliau juga begitu ingin menyaksikan pernikahanku dengan Ustadz Ramdhan segera. Umi memintaku agar bersedia memenuhi permintaan Abah, karena mungkin akan jadi permintaan beliau yang terakhir kalinya. Demi rasa ta’dzim pada Umi dan Abah, aku bersedia memenuhinya. Dengan mahar seperangkat alat sholat serta 1 buah mushaf Al-Qur’an, ijab qobul pun berlangsung. Selesai lafadz ijab qobul itu dibacakan, Abah menghela nafas panjang untuk yang terakhit kalinya. Hatiku teriris menyaksikannya menyaksikan kepergian orang yang begitu berjasa di hidupku.
Sementara itu, Umi membawaku keluar untuk menenangkan diri menunggu pengurusan jenazah Abah. Aku melihat dokter yang tadi merawat Idris berlalu lalang dengan nada percakapan yang begitu panik pada seorang suster. Pikiranku mulai kacau. Aku bergegas ke Ruang UGD. Ramdhan dan Aisyah mengikutiku. Tak berselang lama dokter keluar dan mengizinkan salah  satu diantara kami masuk. Penanganan  khusus yang dilakukan dokter membuat kami tak bebas menemani Idris. Akhirnya aku memutuskan agar Aisyah yang menemani Idris mempertimbangkan betapa sedihnya Aisyah membuatku mengalah. Aku menunggu Aisyah keluar, Ramdhan terdiam melihatku tak bersuara sedikit pun. Ia ikut menangis melihat aku menangis penuh kesedihan.”Rahma..aku tahu bagaimana sesungguhnya perasaanmu pada Idris. Apa kau ikhlas menjalani semua ini?” Tanyanya berharap aku berkata jujur. Aku hanya mengangguk kecil. Betapa pun pahitnya ini aku akan coba ikhlas kan.Aku selalu berkeyakinan bahwa apa yang terbaik menurut-NYA pastilah terbaik juga untukku.
Beberapa saat kemudian Aisyah keluar.Ia memberi tahuku bahwa Idris terus memanggil namaku. Akhirnya aku pun memasuki ruang tersebut. Idris memandangku. Ia memberiku sebuah sapu tangan. Itu adalah sapu tangan yang sempat jatuh saat pertyama kali aku mengenal Idris. ”Kemarilah.. Bawa Ramdhan dan Aisyah masuk. “Pintanya padaku.Ramdhan dan Aisyah pun ikut masuk.”Rahma..maaf aku baru sempat mengembalikan ini padamu. Jaga baik-baik! Aku tahu Ramdhan begitu mencintaimu. Dan untukmu aisyah, terimakasih untuk ketulusanmu. Maafkan aku yang tak memiliki perasaan yang sama dengan mu.” Idris mendekatkan tanganku dan Ramdhan, Butir air mata membasahi pipinya.”Jagalah Cinta kalian..Aku turut bahagia menyaksikan kebahagiaan sahabatku, Berjanjilah padaku Ramdhan.” Ramdhan memeluknya erat.Namun itulah pelukan terakhir yang mampu kusaksikan diantara 2 orang yang berharga di hidupku. Isak air mata mewarnai kepedihan yang tergambar jelas menyisakan kepedihan bagi kami.
Ketika semua beranjak pergi dari pemakaman, aku tetap berdiam menangis disamping batu nisan Abah dan Idris.Ramdhan mengusap air matakudengan sapu tangan yang ku genggan erat di tanganku. Tak sengaja sehelai kertas jatuh dari dalamnya. Ramdhan mengambilnya dan membacakan isi kertas tersebut padaku.”Rahma..aku mungkin tak sesempurna yang kau mau. Tapi kasih ini tulus, hanya teruntuk dirimu..Bukan karena cintaku yang tak sebening bola matamu, Tapi karena aku hanya mampu berada di balik bayangmu hingga membuatku tak mampu utarakannya padamu. Menyaksikan sesosok insan yang begitu pantas untukmu membuatku pun mersa dalam cinta-NYA. Karena senyum mu adalah darah di kehidupanku. Dibalik bayangmu,Ku bersandar meraih cintaNYA...”Dari dalam hatiku terasa hujan tangis menderu.Betapa cinta adalah rahasia-NYA,Sebesar apapun cinta kita pada makhluk, hanya DIA lah yang mampu berkehendak memilih yang terbaik bagi tiap-tiap makhluk ciptaan-NYA.
~THE END~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar